Langsung ke konten utama

White Piano

White Piano
BY : Huwaida Najla A

Sebuah grand piano putih terletak di sebuah sudut ruangan yang bisa dibilang cukup besar. Terlihat seorang gadis berumur 16 tahun tengah memainkan jari-jemarinya di atas sebuah tuts hitam dan putih grand piano tersebut. Sungguh merdu sekali. Ya, lagu ini adalah sebuah lagu yang memiliki sebuah rangkaian nada yang sangat indah untuk dimainkan bahkan didengar. Lagu Klasik milik Bethoven berhasil dimainkannya dengan sempurna. Tiba-tiba saja terdengarlah suara tepukan tangan dari arah belakang gadis tersebut.
“Wow. Itu adalah lagu yang sangat indah Kara. Dan kudengar lagu ini memiliki tingkat kerumitan yang sangat tinggi loh, tapi aku kagum denganmu, kau bisa memainkannya dengan lancar.” Kata seorang gadis yang berusia lebih tua darinya.
"Ah Kak Rosa, terimakasih atas pujian yang kakak berikan untukku. Tapi kakak juga memiliki permainan piano yang indah juga kan ?” Balas Kara dari atas tempat duduknya.
“Iya, tapi tak sebagus dirimu. Em..., maukah kau memainkan lagu Canon In D Major untukku ?” Pinta sang kakak pada adiknya.
“Baiklah.”
Kemudian setelah mendengar komando dari kakaknya ia pun mulai memainkan jari-jemarinya diatas tuts grand piano yang ada di depannya. Tuts demi tuts piano ia mainkan dengan lincahnya. Tanpa melihat sebuah partiture nada yang ada di depannya ia berhasil memainkannya dengan sempurna. Tak khayal apabila setiap orang yang mendengarkannya bermain piano akan tersentuh hatinya, dan bahkan ada yang menangis.
“Wah. Kau berhasil memainkannya dengan bagus ! aku sangat bangga mempunyai adik sepertimu Kara !” Seru Rosa sembari memberikan tepukan tangan kepada adiknya.
“Terimakasih.” Katanya berbulshing.
Di dalam ruangan di sudut kanan ruang utama, terdapat 2 sosok orang dewasa yang sedang berbicara serius. Mereka amat sangat khawatir dengan keadaan anak bungsu mereka yang bernama Kara. Seorang wanita yang tengah duduk di samping sebuah ranjang memegang secarik kertas putih. Ia pun menitikkan airmata. Tentu saja orang itu menangis, karena secarik kertas putih itu bertuliskan sebuah informasi yang sangat memilukan dari rumah sakit. Kertas itu bertuliskan bahwa anak mereka yang bernama Kara terkena penyakit jantung kronis dan terkena sebuah penyakit yang mengharuskan jari-jari tangannya diamputasi.
“Astaga, kenapa ini harus terjadi ya tuhan !” Tangis wanita itu sembari memegang secarik kertas putih itu.
“Sudahlah, jangan menangis, kita harus berdoa agar anak kita bisa mendapatkan sebuah keajaiban dari sang kuasa. Jika tuhan memang harus mengambilnya, kita harus bisa merelakan ia pergi, karena ia adalah sebuah titipan tuhan kepada kita, ia barasal dari sang pencipta maka ia akan kembali pula pada sang pencipta.” Jelas lelaki tersebut sembari menahan airmatanya.
“Iya, aku tahu itu, tapi kenapa ia harus pergi secepat ini, ia hanya punya waktu 6 bulan lagi untuk hidup, kenapa dunia ini sungguh kejam !, apa gunanya semua harta yang sudah kita kumpulkan hingga kita bisa membeli rumah semewah ini ? apa gunanya itu semua jika kita tidak bisa menyembuhkannya.” Kata sang ibu semakin menangis menjadi-jadi.
“Kau tahu, kemungkinan ia untuk sembuh adalah sekitar 25% saja.” Jelasnya.
“Tapi setidaknya kau harus mencoba untuk menyembuhkannya.” Pinta sang istri padanya.
“Baiklah, aku akan mencoba.” Balasnya sembari menenagkan sang istri.
Tanpa mereka sadari, di luar ruangan Rosa tanpa sengaja menguping pembicraan orang tuanya. Setelah mendengar hal itu, kini matanya menjadi berkaca-kaca, seolah menahan tetesan airmatanya keluar dan menganak sungai di pipinya. Rosa pun hanya bisa diam seribu bahasa dan kembali ke dalam kamarnya sembari menangis sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tidak akan menangis apabila kau mendengar bahwa adikmu satu-satunya tidak akan hidup lebih lama lagi. Pasti setiap orang akan melakukan hal yang sama juga. Ia tak habis pikir kenapa waktu bisa berlalu sebegitu cepatnya, ia tak sadar jika adiknya yang ia sayangi mempunyai penyakit separah itu. Ia tak percaya bahwa dibalik fisik yang kuat itu, adiknya menderita penyakit yang sangat kronis.
“Aduh anak mama yang tersayang, kau sedang apa nak ?” Tanya sang ibu sambil berjalan mendekati Kara yang tengah sibuk menggoreskan tulisan di atas sebuah kertas.
“Em...aku sedang menulis lagu.” Balasnya singkat.
“Untuk siapa ?” Tanyanya kembali.
“Ini ?, ini untukmu ma.” Balas Kara sembari memegang secarik kertas yang ditulisinya dengan sebuah rangkaian lagu buatannya.
“Bolehkah mama melihatnya ?” Pinta wanita itu kepadanya.
“Silahkan, tapi jangan kecewa ya jika jelek. Hehehe.” Jelas Kara.
“Tidak akan.” Sahut sang ibu sembari mengambil kertas yang tengah di berikan Kara anaknya padanya.
Wanita itu membaca setiap kata dari karangan lagu yang dibuat oleh putrinya. Ia berusaha untuk meresapi setiap kata-kata bermakna yang ditulis putrinya di atas kertas putih itu. Hingga pada akhirnya setetes airmata jatuh dan menganak sungai di pipinya.
“Mama menangis ?, kenapa menangis ?, lagu buatan Kara jelek ya ?” Tanya Kara sambil mendekati sang ibu yang tengah duduk di samping ranjang putrinya.
“Tidak kok. Aku justru terharu membacanya. Terlebih lagi jika kau sudah menemukan nada yang cocok untuk lagu ini, pasti sangat indah sekali.” Jelas sang ibu panjang lebar.
Setelah wanita itu membaca dan menghayati sebuah lagu yang ditulis putrinya untuknya, sesuatu tengah berkecamuk dihatinya. Ia berulang kali meneteskan airmata apabila ia mengingat kejadian semalam. Tidak, di dapur, tidak di ruang tamu, dan tidak dimanapun, jika wanita itu mengingat lagu yang ditulis oleh putrinya itu ia pasti akan menangis haru. Bagaimana tidak, mengingat putrinya tengah divonis tidak akan hidup sampai 6 bulan lagi pastilah ia sangat sedih. Ia hanya ingin putrinya memiliki sebuah nyawa bak sekuntum Bunga Edelwis, bunga abadi.
Sore ini hujan turun dengan deras, sebuah alunan musik klasik nan indah tengah terdengar hingga sampai di setiap sudut-sudut ruangan. Hingga tiba suatu ketika, gadis yang tengah memainkan jari-jari mungilnya di atas sebuah tuts piano itu terbatuk dan akhirnya mengacaukan permainan pianonya. Tanpa sadar batuknya mengeluarkan sebuah darah segar. Dan tiba-tiba saja tangan kecil dan jari-jemarinya mengalami kram yang luar biasa, hingga pada akhirnya tubuhnya pun harus limbung dan terjatuh di atas sebuah lantai marmer rumahnya.
“Astaga !, Kara !, tidak !, kau kenapa ?, Ma !, Pa !” Teriak Rosa sembari berlarian kearah Kara adiknya.
Mendengar teriakan dari sang putri sulung keduanya yang semula berada di ruang keluarga, kini berlarian menuju asal muasal teriakan Rosa.
“Kara !, kau kenapa nak ?, astaga !, bangun nak !” Teriak sang ibu sembari mengguncangkan tubuh putri bungsunya.
“Kara !” Seru sang ayah sembari menitikkan air mata.
Sore itu juga sebuah mobil ambulance datang dengan suara nan nyaring dan berhenti tepat di depan sebuah rumah megah bak sebuah kastil kerajaan eropa. Setelah itu, sang ayah membopong putri bungsunya yang tengah pingsan tak sadarkan diri dan membawanya masuk ke dalam sebuah mobil ambulance.
Sesampainya disebuah kamar rumah sakit, disekeliling ruangan hanya terlihat warna putih saja yang mendominasi ruangan ini. Sangat monoton sekali. Hingga pada suatu ketika seorang lelaki berumur sekitar 45 tahunan datang dengan menggunakan baju putih panjang dan berkalungkan sebuah stetoskop.
“Dok, bagaimana hasil pemeriksaannya di lab ?” Tanya wanita itu khawatir.
“Apa yang ku khawatirkan tampaknya memang benar-benar terjadi. Maaf beribu maaf, kami harus segera mengamputasi beberapa jari anak anda yang telah terinfeksi, agar infeksinya tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain.” Jelas dokter itu.
“Apa ?, apakah tidak ada cara lain ?” Tanya seorang pria yang tengah berdiri di samping putri sulungnya.
“Maaf, tidak. Oh ya, saya juga ingin mengatakan, bahwa jantung putri anda ini sangat lemah sekali, dan mungkin prediksi saya ia tidak akan hidup hingga bulan ke-6.” Jelas Dokter itu sekali lagi.
Hingga pada suatu ketika, jam opreasi untuk Kara pun tiba. Kini jam dinding di ruangan yang di dominasi oleh warna putih itu kini tengah menunjukkan pukul 9 malam. Secara tiba-tiba pun Kara memanggil nama ibunya.
“Ma. Bisakkah kau kemari sebentar ?” Pinta Kara.
“Ada apa nak ?”
“Apakah penyakitku ini kambuh lagi ?, hingga sampai aku dibawa kemari ?”
“Iya, nak. Tapi jangan khawatir kau pasti akan sembuh.”
“Tapi, jika nanti beberapa jari-jariku ini dipotong, maka aku akan sangat kesulitan untuk bermain piano, dan aku masih punya satu buah permintaan lagi, walaupun nantinya jari-jariku dipotong, izinkanlah aku untuk mengikuti lomba piano 6 bulan lagi. Bolehkah ?” Tanya Kara.
Deg. Tiba-tiba saja jantung ibunya serasa berhenti sesaat ketika ia mendengar kata 6 bulan. Wanita itu kembali berkaca-kaca, tapi ia berusaha untuk menyembunyikannya dan berusaha tetap tegar dihadapan anaknya.
“Tentu saja kau boleh nak.” Balasnya sembari memeluk dan mengelus rambut panjang Kara anaknya.
Kini, sebuah tempat tidur berjalan tengah di dorong oleh beberapa suster dan tengah diikuti juga oleh beberapa orang. Sebuah gesekan roda yang menggelinding di atas sebuah lantai marmer membuat sebuah suara yang khas. Dan sebuah selang tengah terpasang di kedua lubang hidung Kara yang tengah terbaring di atas kasur berjalan itu.
Ketika kasur itu menghilang dibalik sebuah pintu, semua anggota keluarga yang tengah menggiringnya kala itu tak diperbolehkan untuk memasuki sebuah ruangan yang lagi-lagi didominasi oleh warna putih disekelilingnya. Rona wajah pucat pasi dengan dihiasi oleh beberapa tetesan-tetesan keringat dingin yang tak kunjung berhenti mengucur deras tengah menghiasi wajah Rosa dan kedua orang tuanya kala itu. Ya, jujur saja mereka sangat mengkhawatirkannya, apalagi kini detik sudah berganti detik, menit berganti menit, bahkan jam berganti jam. Dan operasi tak kunjung usai. Tepat 3 jam lamanya para dokter ahli bedah berkutat dengan Kara di ruangan, akhirnya salah satu dari mereka keluar dan menghela nafas sesaat.
“Operasi berjalan dengan lancar. Ketiga jari sudah berhasil di amputasi, dan Kara baik-baik saja.” Kata sang dokter sembari melepas masker yang tengah menutupi sebagian wajahnya.
6 Bulan 5 hari kemudian............
Sebuah alunan musik nan indah itu kini tengah menghiasi seisi rumah. Setiap nada-nada terpantul dari setiap sudut ruangan. Hingga membuat suatu paduan harmonisasi yang sangat indah untuk didengar. Fur Elise. Ya, itu adalah sebuah lagu yang tengah dimainkannya. Walaupun kini, jari-jemari yang tengah bermain diatas tuts hitam dan putih piano itu tidak sesempurna dulu, tapi serangkaian nada yang diperdengarkan masih sama bahkan sangat indah. Sebuah persiapan kecil ia lakukan untuk besok malam. Untuk lombanya yang ketiga di Australia.
“Dengan permainan yang sangat indah itu, kau pasti menang, aku yakin. Tetap semangat !” Kata Rosa kakaknya sembari berkaca-kaca.
“Kakak !, kakak menangis ?” Katanya sembari menoleh kebelakang.
“Tidak, aku. Aku tidak menangis hanya terharu saja.” Balasnya dengan tegar. Walapun sebenarnya ia tak ingin.
“Tenang saja kak !, aku pasti menang kok !, walaupun kini jariku sudah tak sesempurna dulu, aku yakin aku pasti bisa !” Seru Kara pada kakaknya.
Kini jam tengah berganti jam, bahkan sekarang sang surya tengah kembali ke peraduannya. Sebuah malam dingin sudah terlampaui dengan cepatnya. Kini sang mentari pagi kembali muncul. Sebuah Alphard putih tengah melaju kencang menuju bandara. Dan kini, seluruh anggota keluarga itu tengah masuk kedalam sebuah pesawat dengan tujuan Indonesia-Australia. Ya, perjalanan itu tak memakan banyak waktu tepat pukul 9 pagi mereka sampai di Bandara Australia. Dan dengan dijemput oleh mobil sedan ekslusif mereka di bawa ke sebuah hotel tempat untuk menyelenggarakan lomba tersebut.
Pukul 8 malam seorang gadis tengah memainkan sebuah piano putih kesayangannya di atas panggung. Dengan mengenakan sebuah gaun merah marun yang kemudian membuatnya nampak elegan. Lagu pertama, Winter Sonata. Sebuah lagu yang dapat menghipnotis penonton yang tengah terduduk dan terpaku melihatnya.
Hingga pada suatu akhirnya lagu ketiga dimainkannya sebuah lagu yang tidak asing lagi. Canon In D Major. Ya, lagi-lagi lagu karya Johan Palchebel berhasil dimainkannya dengan sempurna. Sampai-sampai beberapa penonton dibuat menangis haru olehnya. Ketika lagu ini selesai, sebuah kejutan ia tujukan pada kedua orang tuanya yang tengah menonton. Ya, Kara menyayikan sebuah lagu ciptaannya dengan menggunakan sebuah piano putih kesayangannya. Dan belum sempat ia menyelesaikan rangkaian nada terakhirnya jantungnya serasa lambat untuk berdetak. Deg. Deg. Deg. Sakit. Dan pening kepala. Hingga seluruh pandangannya menjadi buyar. Ia mengalami sesak nafas. Ia pun terbatuk dan hal itu sukses mengacaukan permainan pianonya. Darah pun keluar dari mulutnya, dan akhirnya ia tubuhnya pun limbung dan jatuh terhuyung ke bawah. ‘BRAKK !’. Sontak saja, hal itu membuat para penonton kaget. Tak hanya penonton, kedua orang tuanya serta Rosa kakaknya membelalakkan mata yang kemudian berteriak dan berlari menuju panggung.
Tubuh itu kini lemah tak berdaya. Nadinya pun berdenyut sangat lambat. Hingga nafasnya pun tak beraturan. Secarik kertas putih Kara keluarkan dari sakunya dan menyerahkannya pada ibunya.
“Maaf. A...aku, tidak bi...bisa menyanyikannya sampai se...le...sai. Uhuk.” Katanya tersengal-sengal hingga darah pun keluar dari mulutnya untuk yang kedua kalinya. Hingga beberapa saat kemudian nafasnya terasa berat, dan pandangannya menjadi buram. Matanya sangat berat, berat sekali.
“Ak...aku...aku merasa sangat ngantuk sekali ma. Bo...bolehkah aku tidur sekarang ? aku sangat lelah. Terimakasih ma, pa, dan Kak Rosa. Kalian orang terbaik yang aku punyai.” Kata Kara untuk yang terakhir kalinya. Hingga pada akhirnya ia menutup kedua matanya dan tak akan pernah terbuja untuk selamanya.
When I was a little girl
You saved me and took care of me
You give me some hope
My life and everything, you take care of it
Untill I became a big person and success person
When I was a little girl
I cried and cried
But you gave me a bottle of milk then I slept
A dedication that will never be replaced
Just for you, although now I can’t accompany you like the other days
Although now my body away from you, but my heart still there for you
For a longlasting lived I loved you
All of you, I just could say thanks to all of you My family
And especially for “MY MOM”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Papua ??? Yes, We Have Batik

Papua ??? Yes, We Have Batik by : Huwaida Najla Alaudina Hi guys, you met me again here, and of course with a lot more to know with me. Now, I would like to tell you about an interesting story about Papua. Well, you know about Papua, don’t you?. I believe all of you will nod your head, right ?. Ok, just to remind you. Papua is the largest province of Indonesia,  located in the center of the Papua island or the eastern part of West New Guinea (Irian Jaya). Eemmh… don’t you know that actually Papua has so many cultures ?. And one of them is Batik. Moreover, UNESCO has even declared Batik as an object of cultural heritage produced by Indonesia. So,  batik is not only  from Java island but also from the rest of Indonesia. We can find various kinds of Batik. Even Papua itself also has Batik as its cultural heritage. So, what is so distinctive of Papua’s Batik and that of  other ethnical batik ?. Ok, here I’ll tell you. It is clear enough that Papua’s Batik has different char

"Behind The Mirror" Chapter 5

aaa ”Em...Ica, Lia, aku ingin bicara sebentar pada kalian berdua.” Kata Aline tiba-tiba pada mereka berdua. ”Hn...katakan saja, nyam..nyam...” Balas Ica sembari mengunyah makanannya. ”A..., kau tahu entah kenapa akhir-akhir ini ada serentetan kejadian aneh yang menimpaku. Seperti....” Katanya terpotong oleh Lia. ”Seperti apa ?” Sahut Lia menerobos kalimat-kalimat Aline. ”Seperti, aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat aneh sekali, dan dimimpiku aku bisa mengeluarkan api dari tubuhku. Dan keesokan harinya aku bisa mengeluarkan api itu, dan kau tahu kejadian 2 hari yang lalu ketika aku ada di lab kimia ?” ”Ya..., aku ingat tiba-tiba kertas yang ada di tanganmu terbakar kan? dan kupikir itu adalah sebuah kecelakaan biasa karena adanya reaksi kimia dari spiritus dan alkohol.” Kata Ica menambahkan. ”Eh, tunggu tapi bukankah pada saat itu, posisi Aline tidak berada di meja percobaan ?, diakan berada di meja di depan meja percobaan, dan dia sedang menulis, kan ?” Kata Lia b

Sebuah Kehidupan di Kolong Jembatan

Sebuah Kehidupan Di Kolong Jembatan By : Huwaida Najla Alaudina  Apakah kalian tahu bahwa sesungguhnya dunia ini begitu kejam, dan apakah kalian tahu bahwa disektar kalian masih banyak sesorang yang kelaparan dan sakit-sakitan. Mungkin kalian masih berpikir, bahwa dunia itu kini sudah tidak ada. Dan ya, memang seharusnya dunia yang seperti itu memang tidak ada. Tapi tidak bagi segelintir orang yang hanya memikirkan harta dan kekayaan dan tidak peduli dengan orang-orang disekitar. Kurasa itu sungguh amat sangat kejam. Aku ingin kalian tahu bahwa aku memang hidup di dunia seperti itu. Aku bukanlah seseorang yang beruntung seperti kalian yang hanya bisa mengandalkan uang dari orangtua dan menghambur-hamburkannya. Kalian tahu, betapa mirisnya sebuah kehidupan yang harusku jalani, mungkin kalian akan menganggap bahwa sebuah dunia yang aku tinggali bersama keluargaku merupakan sebuah dunia yang tidak layak. Dan memang kenyataannya seperti itu, aku tinggal di sebuah kolong jembatan