Langsung ke konten utama

Cahaya Lilin-Lilin Kecil

Cahaya Lilin-Lilin Kecil
By : Huwaida Najla Alaudina
Malam itu adalah malam terdingin yang pernah dilalui orang-orang. Terlihat sebuah gubuk reot yang berdiri kokoh di ujung jalan. Terlihat pula secercah cahya dari satu batang lilin kecil yang tengah menerangi salah satu ruangan yang ada di dalamnya. Walau angin bertiup sangat kencang sang lilin tetap bertahan menemani tuannya di meja belajar. Nampak tumpukan buku yang berserakan kesana kemari dan terlihat pula sebuah nama terpatri jelas di atas sampul buku itu berbunyi ‘Rizki Harun Cahaya’.
“Harun ceparlah tidur nak ! ini sudah larut malam. Istirahatkanlah pikiranmu jangan terlalu diforsir nanti kau bisa sakit.” Ujar seorang wanita paruh baya.
“Iya mak ! ini aku mau tidur !” Balas anak laki-laki itu.
Ditutuplah buku-buku itu dan dirapihkannya kembali. Dibaringkan badannya di atas sebuah tempat tidur yang sudah cukup tua. Dibiarkannya sang lilin kecil tetap menyala menerangi tidur malamnya.
Deru kokok ayam bersahut-sahutan pertanda hari sudah subuh. Tercium aroma tungku masak si emak yang sangat khas di hidung Harun. Diraihnya sarung yang sudah sangat usang itu. Dia berdiri menuju tempat wudhu yang berada di sebelah dapur. Selintas terlihat emak yang tengah sibuk meniup tungku masak dengan sebilah bambu pendek.
“Harun, ternyata kamu sudah bangun nak. Cepatlah sholat subuh, setelah itu mandi dan bantu emak di pasar sebentar.”
“Iya mak !” Sahut lelaki kecil itu dari dalam.
Diambilnya kucuran air wudhu dari dalam gentong. Dinginnya air itu sangat dingin hingga menyayat kulit sampai ke tulang. Harun pun langsung kembali ke dalam kamarnya untuk segera menjalankan perintah-NYA. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa handuk mandi.
“Harun ! makanlah singkong yang ada di meja itu dulu !” Perintah si emak.
“Ya mak. Mak ini ada undangan untuk mengambil beasiswa sekolah Harun.”
“Insyaallah run kalau emak bisa datang.”
“Ya sudah mak, Harun pergi bantu emak bawa barang ke pasar ya ?”
“Ya nak, hati-hati !” Seru si emak.
Diambilnya sebuah sepeda kecil yang senantiasa menemaninya pergi di pojokan rumahnya. Dikayuhnya sepeda itu menuju pasar dimana si emak biasa berjualan. Ia segera menitipkan barang-barang itu kepada salah satu teman emak disana. Setelah itu pergilah ia kesekolah yang jaraknya cukup jauh dari pasar.
“Harun, apa ibumu sudah berangkat kemari ?” Kata seorang ibu guru Harun tengah berjalan mendekatinya.
“Belum bu, ini emak masih dipasar. Mungkin nanti sekitar jam 9.” Balas si Harun polos.
Sebuah dentingan lonceng pertanda istirahat pun dibunyikan. Semua anak pun berbondong-bondong keluar dari kelas mereka masing-masing. Terlihat seorang wanita berpenampilan sederhana dan terlihat pucat tengah duduk di ruang kepala sekolah dengan ditemani seorang anak lelaki yang bernama Harun.
“Ibu beruntung sekali punya anak seperti Harun. Saya punya informasi menggembirakan untuk anda. Anak anda kami ikutkan dalam lomba nasional. Tetapi jujur saja sekolah hanya bisa mendanai sebagian dan sisanya anda tanggung.”
“Maaf, kalau boleh tau berapakah kami harus membayar ? uhuk...uhuk.” Tanya ibu Harun terbatuk-batuk.
“Sekitar Rp 500.000.”
“Apa ?!, itu uang banyak sekali, jujur saja kami tidak mampu ayahnya hanya seorang penjahit dan saya pun hanya seorang penjual sayur di pasar.” Balas wanita itu setengah terkejut.
“Mungkin anda butuh waktu untuk berpikir. Ini merupakan sebuah kesempatan emas lho bu. Akan sangat disayangkan bila putra sepintar anak ibu tidak diikutkan. Bagaimana ?”
“Baiklah saya akan memikirkannya.”
Kini hari telah berganti hari. Terlihat seorang lelaki berbadan tegap dan berkumis tengah memberikan sejumlah uang kepada seorang wanita. Ya, mereka berdua adalah kedua orang tua Harun. Sungguh beruntung dirinya kini, karena kedua orang tuanya telah menyanggupi dana itu. Namun, bagaimana jika dana itu adalah dana untuk berobat si emak ?.
Berhari-hari ia lakukan tuk berlatih. Berjam-jam ia lakukan untuk duduk di atas kursi meja belajarnya. Tak lupa juga ia memantu si emak dan bapaknya. Tak lupa juga setiap sepertiga malam ia bangun dan memanjatkan doa untuk keberhasilannya serta untuk kesejahteraan keluarganya dan kesembuhan ibunya.
Hingga kemudian hari yang dinantikan pun tiba. Ia berpamitan kepada si emak dan meminta doa restu kepadanya yang tengah terbaring lemah diatas sebuah ranjang tuanya.
“Mak, Harun minta doa restu ya mak !. Doakan semoga Harun berhasil. Jika nanti Harun berhasil juara, nanti uangnya akan Harun belikan obat untuk emak sebagai ganti uang yang kemarin.”
“Iya nak. Nanti emak doakan. Uhuk....uhuk....” Balas emaknya sambil terbatuk-batuk.
Saat mengerjakan soal-soal itu tiba-tiba saja sebuah pulpen pemberian ibunya pun terjatuh. Namun, sesuatu yang tak mengenakkan pun tiba-tiba saja bergejolak di dalam hatinya. Tetapi, ia tidak mau mengambil pusing masalah tersebut karena bisa mengganggu konsentrasinya. Berjam-jam sudah ia berkutat dengan soal-soal lomba itu. Hingga akhirnya bel pertanda berakhirnya mengerjakan pun dibunyikan.
Dengan ditemani seorang guru pembimbingnya ia menunggu hasil pengumuman lomba. Namun, tiba-tiba saja ponsel milik Bu Tia guru pembimbingnya berdering. Diangkatnya ponsel itu dan ternyata sebuah berita duka tengah disiarkan dari seberang.
“Assalamu’alaikum, ada apa Pak Ridwan ?”
“Wa’alaikum salam, maaf bu tolong nanti jika pengumuman sudah selesai Harun langsung dibawa pulang ya ?”
“Lho ada apa pak ?”
“Innalillahi wa innalillahi roji’un ibunya Harun meninggal. Tapi tolong jangan beritahu ia sekarang. Biarkan ia mengetahuinya nanti.” Jelas Pak Ridwan.
“Innalillahi wa innalillahi roji’un. Kasihan dia pak. Baiklah terimakasih informasinya.”
“ya assalamu’alaikum.”
“Waalaikum salam.”
Setelah menunggu berjam-jam lamanya akhirnya sebuah pengumuman yang dinantikan pun akhirnya datang juga. Sebuah berita menggembirakan tersiarkan dari mikrofon yang ada di atas panggung. Ternyata Harun berhasil menang dan berada pada posisi pertama. Selain itu ia juga mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.500.000 dari penyelenggara. Ia pun langsung melompat kegirangan.
Tanpa harus berlama-lama disana Bu. Tia langsung mengajaknya pulang ke rumah. Walau Harun menanyainya dengan berbagai macam pertanyaan. Bu. Tia hanya menjawab ala kadarnya. Ia tidak ingin berterus terang pada Harun sekarang.
“Bu, Harun senang sekali. Akhirnya Harun berhasil menang, ini juga berkat emak yang sudah mendoakan Harun. Nantinya uang ini untuk berobat si emak. Semoga saja emak cepat sembuh nanti.”
Tanpa terasa air mata Ibu Tia pun menetes. Kasihan sekali Harun, ia tidak mengetahui jika ibunya sudah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Harun pun menatap wajah Bu Tua lekat-lekat. Ia heran kenapa Bu Tia menangis. Apa ada yang salah dengan perkataannya ?.
“Bu, ibu kenapa ? ada yang salah denganku ?”
“Tidak, ibu hanya terharu mendengarnya. Ibumu pasti bangga run !” Balas Bu. Tia dengan mengusap tetesan air matanya.
Sesampainya di gubuk sederhana Harun, terlihat segerombolan orang yang tengah memadati rumahnya. Harun pun tampak kebingungan. Segera setelah itu perasaan tidak enak tengah menyelimuti relung hatinya. Ia pun langsung masuk kedalam menerobos setiap puluhan orang yang bergerombol memadati rumahnya. Terlihat seorang wanita tengah tergeletak lemas tak berdaya di atas sebuah ranjang tua. Terlihat pula wanita itu tengah menutup matanya dan terlihat juga senyum manis menghias wajah pucatnya.
Harun pun berjalan perlahan mendekatinya. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia pun langsung terjatuh lemas tepat disamping ranjang emaknya. Ia meneteskan airmatanya dan menggoncang-goncangkan tubuh emaknya yang terkulai lemas tak berdaya.
“Emak !!! Emak !!! bangun mak ! lihat mak, Harun berhasil ! doa emak berhasil. Emak !!!, bapak, kakak, emak kenapa ?, kenapa emak tidur ?” Seru Harun sembari menangis.
“Harun, sudah ya nak ! jangan menangis, emakmu sudah tidak ada. Terimalah nak.”
“Iya biarkan emak beristirahat dengan tenang. Emak juga pasti tidak mau melihat dirimu menangisi dirinya.” Jelas kakak perempuannya yang bernama Anni.
“Tapi. Aku ingin emak melihat keberhasilanku. Kini, sudah tidak  ada orang yang akan bangun setiap malam tuk mendoakanku, kini sudah tidak ada orang yang menyuruhku untuk segera tidur jika aku belajar larut malam. Kini sudah tidak ada lagi yang meniup tungku masak ketika subuh. Kini aku sudah tidak punya lagi sosok emak di hidupku.” Kata Harun sesenggukan.
Melihat itu, semua orang termasuk gurunya melihat ia dengan tatapan getir. Sungguh sangat malang sekali nasibnya. Ketika ia telah berhasil, seorang ibu yang dikasihinya harus meninggal ketika ia telah mendapatkan keberhasilan. Kini wajah itu hanya bisa teringat di pikirannya. Kini hilang sudah sesosok ibu yang selalu mengisi hati kecilnya dikala sedih dan senang. Namun, dimanapun seorang ibu berada ia pasti akan tetap mendoakan anaknya. Tidak ia hidup, tidak ia meninggal. Pastilah orangtua akan mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Papua ??? Yes, We Have Batik

Papua ??? Yes, We Have Batik by : Huwaida Najla Alaudina Hi guys, you met me again here, and of course with a lot more to know with me. Now, I would like to tell you about an interesting story about Papua. Well, you know about Papua, don’t you?. I believe all of you will nod your head, right ?. Ok, just to remind you. Papua is the largest province of Indonesia,  located in the center of the Papua island or the eastern part of West New Guinea (Irian Jaya). Eemmh… don’t you know that actually Papua has so many cultures ?. And one of them is Batik. Moreover, UNESCO has even declared Batik as an object of cultural heritage produced by Indonesia. So,  batik is not only  from Java island but also from the rest of Indonesia. We can find various kinds of Batik. Even Papua itself also has Batik as its cultural heritage. So, what is so distinctive of Papua’s Batik and that of  other ethnical batik ?. Ok, here I’ll tell you. It is clear enough that Papua’s Batik has different char

"Behind The Mirror" Chapter 5

aaa ”Em...Ica, Lia, aku ingin bicara sebentar pada kalian berdua.” Kata Aline tiba-tiba pada mereka berdua. ”Hn...katakan saja, nyam..nyam...” Balas Ica sembari mengunyah makanannya. ”A..., kau tahu entah kenapa akhir-akhir ini ada serentetan kejadian aneh yang menimpaku. Seperti....” Katanya terpotong oleh Lia. ”Seperti apa ?” Sahut Lia menerobos kalimat-kalimat Aline. ”Seperti, aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat aneh sekali, dan dimimpiku aku bisa mengeluarkan api dari tubuhku. Dan keesokan harinya aku bisa mengeluarkan api itu, dan kau tahu kejadian 2 hari yang lalu ketika aku ada di lab kimia ?” ”Ya..., aku ingat tiba-tiba kertas yang ada di tanganmu terbakar kan? dan kupikir itu adalah sebuah kecelakaan biasa karena adanya reaksi kimia dari spiritus dan alkohol.” Kata Ica menambahkan. ”Eh, tunggu tapi bukankah pada saat itu, posisi Aline tidak berada di meja percobaan ?, diakan berada di meja di depan meja percobaan, dan dia sedang menulis, kan ?” Kata Lia b

Sebuah Kehidupan di Kolong Jembatan

Sebuah Kehidupan Di Kolong Jembatan By : Huwaida Najla Alaudina  Apakah kalian tahu bahwa sesungguhnya dunia ini begitu kejam, dan apakah kalian tahu bahwa disektar kalian masih banyak sesorang yang kelaparan dan sakit-sakitan. Mungkin kalian masih berpikir, bahwa dunia itu kini sudah tidak ada. Dan ya, memang seharusnya dunia yang seperti itu memang tidak ada. Tapi tidak bagi segelintir orang yang hanya memikirkan harta dan kekayaan dan tidak peduli dengan orang-orang disekitar. Kurasa itu sungguh amat sangat kejam. Aku ingin kalian tahu bahwa aku memang hidup di dunia seperti itu. Aku bukanlah seseorang yang beruntung seperti kalian yang hanya bisa mengandalkan uang dari orangtua dan menghambur-hamburkannya. Kalian tahu, betapa mirisnya sebuah kehidupan yang harusku jalani, mungkin kalian akan menganggap bahwa sebuah dunia yang aku tinggali bersama keluargaku merupakan sebuah dunia yang tidak layak. Dan memang kenyataannya seperti itu, aku tinggal di sebuah kolong jembatan