Langsung ke konten utama

Sebuah Kehidupan di Kolong Jembatan


Sebuah Kehidupan Di Kolong Jembatan
By : Huwaida Najla Alaudina 

Apakah kalian tahu bahwa sesungguhnya dunia ini begitu kejam, dan apakah kalian tahu bahwa disektar kalian masih banyak sesorang yang kelaparan dan sakit-sakitan. Mungkin kalian masih berpikir, bahwa dunia itu kini sudah tidak ada. Dan ya, memang seharusnya dunia yang seperti itu memang tidak ada. Tapi tidak bagi segelintir orang yang hanya memikirkan harta dan kekayaan dan tidak peduli dengan orang-orang disekitar. Kurasa itu sungguh amat sangat kejam.
Aku ingin kalian tahu bahwa aku memang hidup di dunia seperti itu. Aku bukanlah seseorang yang beruntung seperti kalian yang hanya bisa mengandalkan uang dari orangtua dan menghambur-hamburkannya. Kalian tahu, betapa mirisnya sebuah kehidupan yang harusku jalani, mungkin kalian akan menganggap bahwa sebuah dunia yang aku tinggali bersama keluargaku merupakan sebuah dunia yang tidak layak. Dan memang kenyataannya seperti itu, aku tinggal di sebuah kolong jembatan yang setiap hari harus terkena banjir. Dingin. Senyap. Itulah yang kurasakan tiap harinya. Namun tidak untuk kalian yang hidup beruntung.
Aku hanyalah anak dari seorang pemulung yang setiap harinya harus memunguti setiap sampah berguna yang ada. Banyak orang yang meremehkan, merendahkan bahkan menginjak-injak hargadiriku dan keluargaku. Tapi bisa kalian pikirkan itu bukan suatu hal yang mudah, cobalah kau bayangkan jika kau yang melakukan itu semua. Sungguh sakit. Sakit sekali, hingga merasuk ke dalam ulu hatiku.
”Toni.....toni....., bangun !!!!, kau harus bantu kakak mulung lagi, jangan hanya tidur saja.” Kata Kakakku dari seberang kamar yang mungkin tak layak disebut sebagai kamar. Karena apa, jika kau lihat dinding-dinding kayu yang sudah lapuk dan hampir roboh ini selalu menghantuiku setiap malam.
”Hoamh...., iya...iya, aku bantu lagian seharian ini aku sudah mulung, dan tadi barusan saja aku sudah setor ke pengepul barang. Kau tahu ini jam berapa ini sudah hampir jam 3 sore, dan aku lelah.” Kataku sambil beranjak duduk diatas sebuah ranjang kayu reot.
”Heleh.....alasan saja kau ini, lihat si ibu dan bapak, kau tidak kasihan melihat mereka bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam ?”.
Sontak saja, kata-kata kakakku itu telah membangunkan semangatku. Walaupun dia adalah seorang wanita tapi aku patut mengacunginya jempol karena apa, ia adalah wanita perkasa dan kakak yang paling baik yang pernahku punyai. Aku sungguh amat sangat bersyukur, walaupun aku berasal dari keluarga tak mampu tapi aku harus menunjukkan bahwa aku mampu, aku bisa.
Hari ini hujan gerimis turun. Aku dan Dila kakakku harus cepat-cepat pulang agar tidak kehujanan. Dan kau tahu entah mengapa tiba-tiba saja perutku ini sudah berbunyi, yah maklumlah sejak siang tadi aku tidak makan. Aku berdiri mematung melihat seseorang sedang asyiknya melahap makanan mereka dari jarak yang bisa dibilang cukup dekat. Entah mengapa orang yang kulihati tadi memandangku dengan pandangan jijik dan langsung mengalihkan pandangannya. Sungguh menyakitkan. Kakakku langsung menarik tanganku dan membelikanku 2 buah nasi bungkus.
Pada saat perjalanan pulang, tiba-tiba saja pada arah berlawanan sebuah mobil kijang berwarna hitam melaju kencang dan hampir menyerempetku, walaupun mobil itu tidak menyerempetku, namun mobil itu sukses membuat aku terjatuh di sebuah genangan air dan membuat nasi bungkusku terjatuh dan basah. Astaga, kenapa di dunia ini masih ada seseorang yang seperti itu ?. Apakah mereka tidak tahu betapa susahnya kakakku membelikanku sebuah nasi bungkus yang bisa dibilang cukup mahal untuk kalangan kami.
“Aduh..., kenapa sih dengan orang itu, seenaknya saja mengendarai mobil, tidak lihat apa ada orang jalan.” Kata Kakaku sambil membantuku berdiri.

Malam sudah menunjukkan pukul 7 tepat. Dan ya, itu merupakan makan malam bagi kami. Tapi sungguh, aku sangat-sangat bisa bersyukur, karena apa ? ya, aku bersyukur karena malam ini aku dan keluargaku bisa makan. Walaupun makanan itu terbuat dari bahan yang mungkin sudah tidak layak untuk dimakan. Tapi apa dayaku, aku harus menghargai setiap jerih payah yang dilakukan kedua orang tuaku untuk menghidupi kami berdua.
“Hm...alhamdulillah kita malam ini bisa makan. Bapak mendapatkan semua makanan ini dari mana ?” Tanya Dila kakakku.
”Aku dan ibumu mendapatkan beberapa rejeki ini dari hasil kami mengais sisa-sisa sayuran dan ikan yang ada di pasar tadi sore.” Kata bapakku dengan nada rendah.
”Oh ya, tapi sebelum itu aku membelikan nasi bungkus lho !, ya walaupun hanya satu, dan sebenarnya ada 2 sih tapi sudahlah lupakan saja. Apakah ada yang mau ?, kalau tidak ya sudah ini buat Toni saja.” Kata kakakku dengan cengiran khasnya.
”Tapi, kak !. Ini kan punya kakak, aku tidak bisa mengambilnya.” Jelasku.
”Sudahlah, ini buatmu saja. Kakak bisa makan sayur dan ikan yang dibuat oleh ibu kok, lagian mubazirkan kalau makanan-makanan ini tidak dihabiskan.”
Seperti biasa, kami berempat hanya makan ditemani oleh sebuah lampu teplok atau lampu minyak. Dan ya, itu terpakasa kami lakukan karena kami tidak sanggup membayar listrik yang biayanya sudah semakin mahal. Kau tahu, mungkin aku dan kakakku adalah orang yang masih dapat dikatakan beruntung. Karena apa ?, karena aku dan kakakku beruntung masih punya kedua orang tua yang selalu menjaga dan menghidupi kami. Sungguh tidak dapat dibayangkan apa jadinya bila nanti kedua orangtuaku meninggalkan kami ?. Mungkin jika sekarang kedua orangtuaku tidak ada, aku dan kakakku akan menjadi anak gelandangan yang selalu tidur di emperan-emperan toko tanpa alas. Dan selalu mendapat usiran-usiran yang selalu dilontarkan oleh sang pemilik toko. Sungguh miris sekali.
Setelah makan malam, aku berniat untuk belajar. Walaupun aku sudah tidak bersekolah lagi semenjak 2 tahun yang lalu, itu terpaksa kulakukan karena demi keluargaku. Namun, itu semua tidak menghentikan semangatku untuk tetap belajar dan belajar. Karena apa, kedua orang tuaku ingin anak-anak mereka memiliki masadepan yang cerah, secerah mentari pagi.
Dengan di temani lilin-lilin kecil yang senantiasa menyala dari atas meja belajarku aku belajar dengan sungguh-sungguh demi menggapai semua impianku. Kubuka buku-buku yang pernah aku beli semasa aku masih sekolah di sekolah dasar dulu. Walaupun berbekal dari buku-buku itu aku harus tetap belajar dan belajar. Dan kau tahu aku sangat ingin sekali membahagiakan kedua orangtuaku yang sudah membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Walaupun mereka hanya tamatan SMA tapi aku sebagai anak harus memiliki tamatan S2 ya, aku harus mencapai itu.
”Toni, kau tidak tidur ?, ini sudah hampir jam 10 malam. Ingat besok pagi-pagi kau harus membantu ibu dan bapak bekerja.” Kata ibu dari seberang kamarku.
”Iya bu....” Sahutku dari dalam.
Setelah mendengar perintah ibu, aku pun langsung membereskan buku-buku yang berserakan diatas mejaku. Karena terlalu asyik belajar dan membaca aku sampai lupa waktu. Astaga, andai ibu tidak mengingatkanku mungkin aku akan ketiduran diatas meja sampai subuh.
Beberapa menit setelah aku membereskan buku-bukuku terdengarlah suara tetesan-tetesan air hujan yang jatuh diatas atap rumahku yan terbuat dari seng. Dan itu membuat suara khas hujan itu sendiri. Tik...tik...tik..., begitulah suaranya. Tak lama kemudian aku pun beringsut diatas kasur lamaku yang sudah hampir rusak itu. Aku meringkukkan diriku dan merapatkan tubuhku pada sebuah guling kesayanganku. Dingin. Ya, itu adalah kesan pertama yang kurasakan hingga merasuk kedalam setiap inci tulang-belulangku. Aku berusaha untuk mengatupkan kedua mataku, hingga pada akhirnya aku pun tertidur pulas.

Subuh pun datang. Hawa sejuk nan segar pun mulai masuk perlahan melalui hidungku dan masuk ke dalam setiap ruang yang ada di paru-paru tubuhku. Aku terdiam sejenak dan menggeliat. Sungguh dingin sekali pagi ini, sama seperti kemarin malam ketika aku tidur.
”Toni !!!, kau sudah bangun nak ???. Ayo bangun sholat subuh dulu.” Kata Ibuku.
Dengan mata masih menutup aku beranjak bangun dan membuka mataku perlahan. Aku melihat keadaan sekeliling. Remang-remang dan samar. Aku berusaha untuk terus mengerjap-ngerjapkan mataku agar pandanganku terlihat jelas. Dengan langkah gontai aku berjalan. Aku langsung mengambil air wudhu sesampainya di kamar mandi. Airnya sungguh dingin, tapi itu sukses membuat mataku sadar.
”Pagi ini, kita makan sisa roti ini saja ya ?” Kata ibuku berkata dengan kakak dan bapakku. Melihat keadaan keluargaku yang seperti ini membuat hatiku sakit, sungguh sakit, aku ingin sekali menangis namun air mataku seperti tertahan oleh sesuatu. Lalu, aku pun menyusul mereka di ruang tamu. Dan makan bersama mereka.
”Kali ini bapak akan mulung dimana ?” Tanyaku.
”Seperti biasa, bapak akan mulung ditempat pembuangan sampah. Kau dengan kakak mu saja ya ?” Jelasnya.
Kemudian pada saat itu juga aku langsung diajak mulung oleh Dila kakakku. Namun sebelum aku pergi bersamanya, aku melihat Rifki, dia adalah salah satu temanku yang mungkin nasibnya masih beruntung. Ya, dia masih bisa sekolah sedangkan aku tidak, kini dia sudah duduk di bangku SMP. Aku serasa iri melihat teman-teman seumuranku masih bisa sekolah sedangkan aku tidak. Tapi tak apalah, demi membantu keluargaku aku harus merelakannya.
Aku dan kakakku berjalan melintasi sebuah sekolahan SD tempatku dulu menimba ilmu. Aku sungguh masih ingat masa-masa itu, masa-masa bersama teman-teman dan para guruku tersayang. Tanpa kusadari seorang ibu guru sedang memperhatikaku dari kejauhan. Aku tak bisa melihat wajahnya karena sebagian wajahnya tertutup oleh tanaman yang ada di depannya. Aku dan kakakku pun berjalan perlahan meninggalkan SDku dan kakakku dulu. Tanpa kusadari ternyata ibu itu mengikutiku dan tiba-tiba saja ia memanggilku.
”Toni !!!, Dilla !!!” Teriak ibu itu dari kejauhan dan berlari menghampiri kami berdua.
”Astaga, Ibu Reni ?, kenapa bisa ibu..” Kata Dila kakakku.
”Ya...., tadi sekilas ibu perhatikan kalian berdua dari kejauhan, kemudian firasat ibu mengatakan kalau itu kalian berdua, langsung saja ibu meghampiri kalian. Tapi, kenapa kalian keluar secara tiba-tiba ?. Sungguh amat sangat disayangkan anak sepintar kalian harus keluar.” Jelas Ibu Reni panjang lebar.
”Maaf bu, bapak dan ibu kami sudah tidak mampu lagi, aku sangat merasa kasihan pada mereka, jadi aku dan kakakku memutuskan untuk berhenti saja.” Kataku.
”Tidak. Kalian tidak boleh keluar, apa nanti kata orang jika SD Harapan sekarang sudah jarang memenangkan lomba ?, itu semua berkat kalian SD Harapan bisa terus menang lomba. Aku akan membiayai kalian sekolah sampai nanti, bagaimana ?, jika kalian mau nanti aku akan bicara kepada kepala sekolah agar kalian mau diterima lagi.”
”Astaga ibu, kami sungguh sangat berterimakasih. Tapi, siapa nanti yang akan membantu ibu dan bapak mencari makan ?. Untuk makan sehari saja kita masih susah bu.” Jelas kakakku.
”Begini saja, sebagai gantinya kalian akan bekerja paruh waktu di tempatku sebagai penjaga toko, nanti akan kuberi upah.”
”Benarkah bu ?” Kata kami serempak.
”Iya.”
”Alhamdulillah. Terimakasih Bu Reni !!!” Kataku dan kakakku sambil memeluk Bu Reni dan tersenyum bahagia.
Siang harinya setelah kami berdua dan Bu Reni berbincang dengan kepala sekolah, kami pun menuju kerumah dan menemui bapak dan ibu. Aku memanggil ibu dan bapak dengan nada kegirangan berkali-kali, namu tidak ada jawaban. Astaga aku baru ingat, bapak dan ibu masih mulung di tempat biasanya. Aku memutuskan untuk menyusul ibu dan bapak ke tempat pembuangan sampah dan menyuruh kakakkku untuk tetap di rumah bersama Bu Reni guru mapelku.
”Ibu !!! Bapak !!!” Teriakku dari kejauhan tempat itu.
Setelah mendengar suaraku dari kejauhan mereka pun menolehkan pandangannya padaku dan berjalan kearahku.
”Ada apa nak ?, kenapa kau memanggil ibu dan bapak ?” Tanya bapakku.
”Ayolah pak bu. Segera ikut pulang denganku, kalian pasti sangat terkejut !” Kataku kegirangan sambil menggandeng tangan bapak dan ibu. Sesampainya di rumah betapa kagetnya mereka berdua melihat Bu Reni salah satu guru dari Dila dan Toni semasa ia sekolah dulu.
”Astaga, ada apa ini bu ?” Tanya ibuku dengan ekspresi khawatir.
“Apakah anak kami melakukan kekacauan di sekolah anda ?” Tanya bapak.
“Oh tidak, justru saya dan sekolah ingin mereka bersekolah lagi. Karena tanpa mereka sekolah tidak akan berkembang. Jika anda mengijinkan, besok mereka boleh masuk.”
”Lalu, nanti siapa yang akan membantu kami ?” Tanya Bapak.
”Tenang saja, mereka bisa bekerja paruh waktu di tempatku seusai sekolah dan aku akan memberi mereka upah. Bagaimana ?”
”Alhamdulillah. Terimakasih bu !, sungguh kami tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan ibu.” Kata Ibuku sembari menahan isakan tangisnya.
”Jadi bagaimana bu, pak ?, aku dan kakak boleh sekolah lagi ?” Tanyaku.
Ibu dan bapak hanya mengangguk pelan sebagai tanda ya. Aku dan kakakku langsung tertawa bahagia tercampur perasaan haru. Aku pun menangis bahagia. Entah bagaimana bisa aku sekolah lagi. Sungguh aku sungguh sangat bersyukur padamu Ya Rab !. Terimakasih.
1 Tahun kemudian…..
Di dalam ruang aula itu sungguh sangat ramai. Beberapa ratus kepala manusia tengah duduk dan memperhatikan kearah depan. Untuk pertamakalinya aku merasa deg-degan. Jantungku berdegub sangat kencang keringat dingin mengucur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara seseorang dari pengeras suara yang menyebut nama kami berdua. Deg. Seketika itu juga jantungku serasa berhenti. Dadaku serasa sesak. Aku pun menggandeng tangan kakakku dan mulai naik keatas panggung yang bisa dibilang cukup besar itu. Kupandangi beberapa pasang mata manusia yang memandangku dan kakakku.
”Inilah juara lomba matematika dan sains kita. Toni dan Dila !!!. anak dari Bapak Harun dan Ibu Marsih. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah !!!!”
Seketika itu ruangan menjadi ramai seketika. Kini seluruh manusia berdiri dan memberika tepukan tangannya untuk kami berdua. Aku dan kakakku pun menangis haru. Ternyata usahaku selama ini tak sia-sia. Walaupun aku dan kakakku adalah anak dari seorang pemulung tapi kami bisa membuktikan kami bisa, kami tidak kalah dari orang-orang beruang yang kerjanya hanya menghabiskan uang dan menkorupsi uang-uang rakyat. Kulihat wajah bapak dan ibuku yang juga menangis bahagia.
Mungkin sebuah ungkapan yang pantas untuk kalian orangtuaku adalah sebuah ucapan terimakasih yang tak ternilai harganya. Karena kalian aku berhasil. Karena kalian aku menjadi orang yang sukses. Karena kalian pula aku berhasil menjadi anak yang bermanfaat untuk masyarakat. Sungguh sekiranya jika aku membuang kalian dan tidak menganggap kalian sebagai orangtua ketika aku sukses, maka aku termasuk orang-orang yang tidak tahu terimakasih dan aku juga termasuk sebagai anak yang durhaka. Sekalilagi aku ucapkan terimakasih untukmu bapak dan ibu dan untukmu para guru yang selalu mendampingi dan membimbingku hingga aku berhasil. Terimakasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Papua ??? Yes, We Have Batik

Papua ??? Yes, We Have Batik by : Huwaida Najla Alaudina Hi guys, you met me again here, and of course with a lot more to know with me. Now, I would like to tell you about an interesting story about Papua. Well, you know about Papua, don’t you?. I believe all of you will nod your head, right ?. Ok, just to remind you. Papua is the largest province of Indonesia,  located in the center of the Papua island or the eastern part of West New Guinea (Irian Jaya). Eemmh… don’t you know that actually Papua has so many cultures ?. And one of them is Batik. Moreover, UNESCO has even declared Batik as an object of cultural heritage produced by Indonesia. So,  batik is not only  from Java island but also from the rest of Indonesia. We can find various kinds of Batik. Even Papua itself also has Batik as its cultural heritage. So, what is so distinctive of Papua’s Batik and that of  other ethnical batik ?. Ok, here I’ll tell you. It is clear enough that Papua’s Batik has different char

"Behind The Mirror" Chapter 5

aaa ”Em...Ica, Lia, aku ingin bicara sebentar pada kalian berdua.” Kata Aline tiba-tiba pada mereka berdua. ”Hn...katakan saja, nyam..nyam...” Balas Ica sembari mengunyah makanannya. ”A..., kau tahu entah kenapa akhir-akhir ini ada serentetan kejadian aneh yang menimpaku. Seperti....” Katanya terpotong oleh Lia. ”Seperti apa ?” Sahut Lia menerobos kalimat-kalimat Aline. ”Seperti, aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat aneh sekali, dan dimimpiku aku bisa mengeluarkan api dari tubuhku. Dan keesokan harinya aku bisa mengeluarkan api itu, dan kau tahu kejadian 2 hari yang lalu ketika aku ada di lab kimia ?” ”Ya..., aku ingat tiba-tiba kertas yang ada di tanganmu terbakar kan? dan kupikir itu adalah sebuah kecelakaan biasa karena adanya reaksi kimia dari spiritus dan alkohol.” Kata Ica menambahkan. ”Eh, tunggu tapi bukankah pada saat itu, posisi Aline tidak berada di meja percobaan ?, diakan berada di meja di depan meja percobaan, dan dia sedang menulis, kan ?” Kata Lia b