Langsung ke konten utama

Winter Spring "Hanabi"


Winter Spring
“Hanabi”

Wina, Austria, Present Time

Waktu terus berputar. Detik berganti menit. Menit berganti Jam. Jam berganti hari dan seterusnya. Hingga aku pun tak menyadari jika aku sudah 5 jam lamanya di dalam studioku. Jika ini semua bukan gara-gara permintaan bosku yang aneh untuk meminta soundtrack tambahan untuk game online kami yang terbaru. Aku pun melonjak kegirangan ketika proses programming musik yang kubuat akhirnya selesai juga. Aku pun segera melepas headset yang terpasang ditelingaku dan meregangkan punggungku.
Ketika aku keluar dari ruanganku, aku pun mengerjapkan mata sejenak. Berusaha untuk mengadaptasikan indera penglihatanku dengan cahaya terang ruang tamu rumahku. Aku pun duduk sejenak dan mengambil ipad yang kuletakkan di atas meja. Mencoba untuk mencari file soundtrack musik yang baru saja aku selesaikan setelah sekian jam lamanya aku mendekam di ruang studio pribadiku. Aku pun semakin tersenyum bahagia, ketika aku berhasil mengupload hasil karyaku ke website resmi perusahaan. Beberapa saat setelah itu aku pun mengirimkan sebuah pesan singkat kepada bosku dan mengatakan jika pesanan yang diminta olehnya sudah terkirim.
Baru beberapa detik aku melepas kacamataku dan meletakkan ipadku, bel rumahku pun berbunyi. Ketika aku membuka pintu rumahku, tampaklah sesosok pria bertopi biru dan berseragam layaknya pengantar barang, dan ternyata dia memang seorang pengantar barang. “Entschuldigen Sie mich, das ist wirklich die Miss Aileen Farron?”[1] Tanya laki-laki pengantar barang itu dengan tersenyum kearahku.
“Ja, was ist es?”[2]
“Bestehende Päckchen für Sie.”[3] Setelah aku membubuhkan tanda terima pada sebuah kertas yang dibawa oleh petugas pembawa barang itu, aku langsung menerima barang yang dibawanya dan mengucapkan terimakasih.
Aku pun duduk di sofa dan memandangi kotak besar berwarna coklat yang dikirimkan petugas pembawa barang tersebut dan melihat alamat pengirimnya. Aku pun mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, siapakah yang mengirimkan barang tersebut padaku. Ternyata pengirim dari kotak box berbentuk persegi panjang yang kuterima itu dari temanku yang berada di Jepang, Masaki Ayano. Aku pun langsung menarik sudut bibirku membentuk segaris kurva melengkung di wajahku.
Ketika aku membuka paket tersebut, aku pun semakin tersenyum dan senang. Ketika aku menyadari, jika Ayano memberikanku sebuah kimono berwarna soft pink dengan motif bunga sakura. Disana juga terdapat sebuah album foto yang bertuliskan 花火’(baca : hanabi) dimana dalam bahasa jepang berarti ‘Kembang Api’. Dimana diatas album foto berwarna coklat kemerahan itu aku menemukan sebuah surat.
“ Dear my best friend,
          Aileen Farron
          It has been a long time we didn’t meet each other right? So, how are you there? I really missed the time that we spent together in Japan. Especially in the Hanabi Festival. That was the first time we met each other right? I really hope that you could visit me again to enjoy Hanabi Festival this year. Ah yeah, I also sent you a beautiful kimono, if I am not mistakes it was the Kimono that you really wanted to wear with Kei right? Ah, sorry to mention his name again, I don’t mean to remind you of the past time. *peace :D*. And there is also an album, it was a collection of photos that I made for you. But, sorry for the lateness hehe :D and don’t mad at me kay?”

P.S. : wear that Kimono if you feel to visit me again here and don’t be sad because of the past. Keep smiling and move on ! Ganbatte-ne[4]!!! Sorry for the bad English =P

Best Regards,
正木綾乃
(Masaki Ayano)

Tanpa kusadari, aku pun tertawa sambil menitikkan air mataku setelah aku membaca surat dari Ayano. Aku pun merasa senang karena aku bisa memiliki teman seperti dia. Ya, semenjak kepergiannya Ayano lah yang selalu menyemangatiku, walaupun kami tinggal di negara yang berbeda, tetapi kami tetap berhubungan dengan  baik. Entah itu lewat email, sms, telepon, atau bertemu secara langsung. Lalu, aku pun mengarahkan kedua mataku pada sebuah tulisan yang ditulis olehnya. Dan aku pun membaca tulisan itu dengan pelan. Aileen Farron. Kalau dipikir-pikir kenapa aku masih menggunakan nama keluarganya? Padahal orang yang memilikinya sudah pergi meninggalkanku. Maksudku, pergi dalam artian selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi ke dunia ini.
Mengingat nama Farron yang masih mengekor pada namaku itu, tiba-tiba saja membuat air mataku berjatuhan. Ya itu benar, jika kau bertanya padaku kenapa aku masih menggunakan nama itu, maka alasannya adalah karena aku masih ingin terikat bersamamu selamanya. Lalu, aku pun menghapus air mataku yang berjatuhan ketika aku mengingat kembali pesan terakhir yang ditulis oleh sahabatku Ayano.
“Ayano benar. Kau harus tetap tersenyum dan berjalan terus. Ganbatte Aileen!” Kataku berseru pada diriku sendiri.
Aku pun mengambil Kimono berwarna pink lembut itu dan melihatnya. Jika dilihat, ini adalah Kimono yang persis ku gunakan saat itu. Pada saat mengunjungi Festival Hanabi di Tokyo, Jepang bersama dirinya. Alexander Kei Farron. Lalu, tanpa kusadari memori masa lalu itu kembali berputar di dalam pikiranku bagai film.
Tokyo, Jepang, 2008
Ini adalah kesekian kalinya aku mondar-mandir di ruang tunggu. Berulang kali pula kutatap diriku yang lain di depan cermin, menampakkan seorang gadis berambut coklat panjang yang dibiarkan tergerai tengah mengenakan dress selutut tanpa lengan dengan motif klasik jepang. Gadis yang ada di cermin itu tengah menggiti kuku jarinya, sama seperti yang dilakukannya saat ini. Lalu, bisa kulihat seorang wanita yang kukenal dengan nama Mrs. Florence itu tengah berjalan mendekat ke arahku. Ku lihat pantulan bayangannya di cermin tengah menepuk-nepuk pundakku. “Ini bukan pertama kalinya kamu konserkan?”
“Enggak sih.” Jawabku dengan sedikit menundukkan kepalaku.
“Maka anggaplah ini seperti konser-konsermu yang sebelumnya. Ini hanya festival musik kok, tidak semenegangkan lomba musik yang diadakan oleh kementrian budaya tahun lalu. Aku yakin kau pasti bisa!” Seru Mrs. Florence dengan menepuk-nepuk bahuku sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanku sendirian di ruang tunggu.
Setelah dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakan oleh Mrs. Florence. Ini bukanlah pertama kalinya aku menghadapi konser dalam event internasional seperti ini. Dan ini hanyalah festival bukan lomba atau apa pun. Anggaplah para penonton itu adalah boneka-boneka lucu yang sering dimainkan oleh anak-anak. Aku pasti bisa. Semangat Aileen!
@@@
Meriahnya suara tepuk tangan para penonton masih terus menggema di dalam gedung, walaupun para pemain konser sudah pergi meninggalkan panggung. Aku pun bisa melihat ekspresi kelegaan terpancar dari wajah mereka ketika mereka ber-4 berjalan melewati kami. Lalu orang terakhir dari grup orkestra itu tiba-tiba saja menyentuh pundakku dan tersenyum lalu berkata, “Ganbatte-ne Aileen-san!” dia adalah Masaki Ayano seorang yang baru saja ku kenal disini. Pada hari pertama aku tiba di Jepang, dialah orang yang pertama kali menyapaku dengan ramah. Dan di hari itu juga dia menjadi tour guideku untuk berkeliling kota Tokyo selama beberapa menit.
Aku pun menarik nafas panjangku dan menghembuskannya perlahan. Lalu, aku pun membalas senyuman gadis itu dan berkata, “Arigato Ayano-san.” Sebelum aku dan Kei masuk ke dalam panggung. Tiba-tiba saja Kei menggenggam tanganku yang sudah sedingin es. Hei, ternyata bukan aku saja yang gugup, dia juga sama gugupnya denganku. Hal itu terbukti dengan sentuhan tangannya yang dingin ketika ia menggenggam tanganku. Lalu ia pun tersenyum. “Segera akhiri ini, dan nikmati festivalnya.” Mendengarnya aku pun hanya mengangguk dan tersenyum.
Lagu pertama yang kami mainkan adalah lagu Spring Waltz lagu karangan dari Komposer Korea terkenal yang bernama Yiruma. Setelah beberapa detik lamanya Kei memainkan intro, aku pun mulai mengangkat biolaku dan ku posisikan bow yang kubawa tepat di atas senar. Lalu, aku pun mulai menggesek senar-senar itu dan memainkan melodinya. Aku pun menutup mataku dan membiarkan tanganku menari-nari diatas senar. Mencoba merasakan setiap makna yang terkandung dalam lagu yang kami bawakan. Kami pun segera mengakhiri permainan kami ketika aku menekan senar E dengan jari kelingkingku dan membuat vibrato yang sangat panjang. Walaupun aku belum menurunkan  biolaku dan menghentikan permainanku, aku sudah bisa mendengar tepukan dari para penonton.
Lalu, tibalah kami pada lagu terakhir yaitu lagu milik Franz Schubert yang berjudul Serenade. Lagu itu, adalah lagu yang penuh makna bagiku. Karena apa, menurutku di dalam lagu itu kau bisa merasakan sebuah kesedihan yang mendalam, kesepian, kosong dan hampa dalam hidupmu. Namun, dalam suatu ketika kau pun dapat merasakan sebuah kebahagiaan karena setelah sekian lama kau tersiksa akan rasa kesendirian dan kehampaan. Dan dalam sekali waktu kau mendengarkan lagu itu, kau seolah terhipnotis oleh keindahan nada yang tercipta. Setelah aku mengakhiri serangkaian nada panjang yang ku mainkan bersama Kei, penonton yang semula diam kini menjadi riuh dan bertepuk tangan. Aku pun tersenyum senang dan membungkuk hormat tanda pamit.
Di dalam ruang tunggu bisa ku lihat Mrs. Florence tersenyum senang menyambut keberhasilan kami berdua dan ia pun langsung memelukku dengan bahagia. “Sudah kubilangkan, kau pasti bisa! Lagian kenapa sih, setiap ada konser pasti kamu selalu merasa gugup.”
“Ehehe. Entahlah Mrs. Flo.” Jawabku sambil tertawa kecil.
“Baiklah, sekarang kau bisa bebas menikmati festivalnya, 3 jam lagi peluncuran kembang api lho.” Jelas Mrs, Florence.
“Ah ya anda benar. Kau tidak ikut, Mrs. Flo?” Tanyaku.
“Tidak, aku ingin disini saja.”
@@@
Sedari tadi kami berdua pun berlari dan sedari tadi Ayano masih menarik tanganku dan mengajakku berlari entah kemana. Sedangkan pemuda bernama Kei yang masih mengekor di belakang kami berdua nampak kelelahan dan memandangku dengan tajam. Seolah berkata berhenti-sekarang-atau-ku-bunuh-kalian-berdua. Ini adalah kesekian kalinya aku bertanya kepada Ayano tentang kemanakah dia akan membawa aku dan Kei. Namun, ini juga sudah kesekian kalinya pula ia hanya tersenyum dan terdiam. Lalu, aku pun mulai berpikir apakah ia tidak mengerti bahasa inggris?
“Um…ano…Ayano-san, doko ni anata wa watashi o totte iru?”[5]
Setelah sekian lama kami berdua berlari, bertiga jika di tambah dengan Kei. Tiba-tiba saja Ayano menghentikan langkahnya. Sehingga hal itu sukses membuatku hampir kehilangan keseimbangan dan terjatuh karenanya. Lalu Ayano pun tersenyum dan berkata, “Koko de.”[6] Aku pun terdiam dan menatap sebuah tempat yang lumayan besar berdiri dihadapanku dan Kei. Lalu aku pun membaca tulisan yang terdapat pada kaca bangunan itu. 三崎サロン’yang berarti Salon Misaki. Ah ternyata dia mengajakku ke salon milik keluarganya. Tunggu, apa? Salon? Untuk apa ia membawaku dan Kei ke salon? Lalu, tiba-tiba saja Ayano langsung berlari masuk ke dalam salon milik keluarganya dan menyuruh kami berdua untuk ikut masuk.
Aku pun langsung berseru padanya, “Ayano-san, matte!!!”[7] Lalu, bisa kurasakan jika kini Kei tengah berjalan mendekat ke arahku dan mengomel padaku. “Kau tau seberapa lelahnya aku, temanmu itu gila atau waras sih?”
Mendengar omelan Kei yang barusan itu langsung membuatku menoleh kearahnya dan menyipitkan kedua mataku, “Siapa suruh kau ikut, huh?” Kataku singkat lalu menjulurkan lidahku padanya seraya mengejek. Sebelum akhirnya aku masuk ke dalam salon. Pertama kali aku masuk ke dalam salon milik keluarga Misaki aku pun seolah tak bisa berkata-kata. Karena apa? Ini adalah salon dengan fasilitas termewah yang pernah aku temui. Interior dari salon ini diambil dari perpaduan antara gaya Eropa klasik dan Jepang zaman Edo dengan patung samurai lengkap dengan bajunya menyambutku di samping pintu. Pantas saja jika salon ini memiliki banyak pengunjung.
Ayano pun mengajakku ke sebuah tempat dimana salon ini menyimpan baju-baju yang biasa disewakan oleh keluarganya. Lalu aku pun bertukar pandang dengan Kei seolah bertanya padanya apa yang terjadi. Namun, pandangan Kei pun sama terkejutnya denganku. Lalu, aku pun mengarahkan pandanganku ke arah Ayano yang sudah berdiri di depan almari besar tempat dimana baju-baju itu disimpan. “Ayano-san, what’s the meaning of this?” tanyaku padanya.
Ayano pun tersenyum padaku dan ia pun menjawab dengan menggunakan bahasa inggris yang masih kental dengan aksen jepangnya dan itu sedikit membuatku tidak mengerti apa yang dia ucapkan, “Um…are you want to go to the festival with that clothes?” tanyanya dengan menunjuk bajuku, kurasa aku mengerti apa yang dia maksudkan, dan aku pun memandang baju yang kukenakan saat ini. Memangnya apa yang salah dengan bajuku?
“Ano Ayano-san, what’s wrong with my dress?” Lalu, aku bisa merasakan jika Kei menyenggol tanganku sejenak dan berbisik ke arahku. “Tidakkah kau tahu, ini adalah festival hanbi di musim panas, di Jepang untuk ikut dalam festival itu biasanya orang-orang akan memakai Kimono.”
“Do you mean we should change our clothes into Kimono, Ayano-san?”
“Yeah, Kei-san is right.” Jawabnya dengan tersenyum ke arah kami berdua. Lalu, Ayano pun membuka lemari besar itu dan kini terlihatlah jajaran baju-baju Kimono cantik yang tergantung di dalamnya. Aku pun bertanya pada Ayano apakah ini tidak terlalu berlebihan? Lagi pula dengan apa aku harus membayar baju-baju pinjaman itu? Namun, Ayano pun hanya tersenyum dan berkata bahwa ini adalah suatu kehormatan baginya bisa menyambut tamu yang begitu penting dari negara lain. Mendengar hal itu aku pun sedikit tersentuh, betapa sopan dan baiknya orang-orang Jepang itu, pikirku.
Kemudian, Ayano menyuruh kami berdua untuk segera memilih baju yang kami inginkan. Lalu, kedua mataku pun menangkap sebuah kimono cantik dengan warna pink lembutnya dan motif bunga sakura yang bertebarang diatasnya terselip diantara jajaran baju yang tergantung dalam almari itu. Aku pun mengambil baju itu dari dalam Almari.
“Ayano-san, this is beautiful, can I wear this?” Tanyaku pada Ayano yang sudah berdandan sangat cantik lengkap dengan Kimono berwarna biru langit dengan motif-motif langit dan burung-burung berwarna biru tua yang turut menghiasi Kimononya. Ayano pun hanya mengangguk dan mengatakan agar aku cepat memakainya. Namun, aku pun hanya menunduk malu dan mengakui jika aku tidak bisa memakai Kimono dengan benar. Mendengar penuturan polosku, bisa ku lihat jika kini Kei tengah tersenyum mengejek ke arahku.
@@@
Kini disinilah kami bertiga. Aku, Kei, dan Ayano. Aku dengan Kimono berwarna pink lembut dengan motif bunga sakura. Lalu, Kei dengan Kimononya yang berwarna merah gelap dengan motif abstrak yang menghiasinya, dan Ayano dengan Kimononya yang berwarna biru langit dengan motif benda-benda yang ada di langit dan burung-burung yang beterbangan. Kami bertiga berdiri di tengah-tengah keramaian Festival Hanabi di sebuah daerah kecil di Tokyo. Aku pun terkagum-kagum dengan dekorasi yang dibuat oleh masyarakat disini. Desa kecil itu kini seolah disulap menjadi sebuah pusat kegiatan seluruh masyarakat Tokyo dengan banyaknya stand-stand makanan dan minuman juga mainan yang berdiri disamping kanan dan kiri jalan.
Aku pun bertanya pada Ayano, kenapa Festival Hanabi diadakan disini? Ternyata alasannya adalah karena desa kecil tersebut memiliki banyak sekali kuil-kuil kramat yang sering digunakan mereka untuk sembahyang.
Kei tiba-tiba saja menyenggol tanganku dan menantangku untuk bermain sebuah permainan yang ada di stand yang berdiri tepat di depan kami berdua. Ternyata itu adalah sebuah stand permainan yang menyediakan permainan tembak-tembakan dengan menggunakan pistol air. Kami diharuskan untuk menembak sebuah benda berjalan berbentuk bulat oval berwarna putih. Dimana warna putih yang ada pada benda itu adalah sebuah kertas tipis yang harus kita hancurkan dengan pistol air.
“Kau harus siap menerima kekalahanmu.” Kata Kei dengan sombong dan melipat lengan kimononya hingga sebatas siku
Aku pun mulai mengambil pistol itu dari tempatnya dan juga melipat lengan kimonoku sebatas siku agar tidak mengganggu aksi tembakku nanti. “Ha! Sombong sekali kau, aku yakin kau yang akan kalah duluan dariku!”
“Baiklah, yang kalah harus memenuhi 3 permintaan dari yang menang, oke?”
“Baiklah, siapa takut!” tantangku.
Belum ada 5 menit kami bermain, ternyata aku sudah kalah duluan darinya. Dan itu sedikit membuat suasana hatiku sedikit mendung. Sedangkan ia terus saja tertawa mengejekku. Bahkan ia terus-terusan mengingatkanku tentang taruhan yang dia buat, yaitu yang kalah harus memenuhi 3 permintaan dari yang menang. Hah!, persyaratan seperti apa itu! Tahu seperti ini, aku tidak akan pernah menyetujui persyaratan aneh itu, tapi, jika aku melakukannya itu akan membuat harga diriku semakin jatuh di depannya. Hah, dasar rubah!
“Hei, kau harus ingat dengan taruhannya lho!” Katanya dengan tertawa puas.
“Hei! Diam kau!” Kataku ketus.
“Cepat katakan, apa permintaan pertamamu!” Lanjutku.
“Belikan aku eskrim.” Katanya. Ha, itu adalah permintaan yang mudah buatku, “Oke, aku akan belikan kau eskrim.” Seolah menyadari situasi kami berdua Ayano pun hanya bisa terkikik geli melihat kelakuan kami dengan terus berjalan dibelakang kami berdua.
Setelah aku mendapatkannya eskrim yang diminta olehnya, aku pun memberikan eskrim itu padanya. Namun, aku segera menariknya kembali ketika dia mulai menyombongkan diri dan mengejekku. Bisa ku lihat jika dia sedikit protes dengan aksiku barusan. Lalu, tanpa di duga-duga olehnya aku pun langsung berbalik. Karena jarak kami berdua terlalu dekat, akhirnya eskrim yang kubawa pun mengenai wajahnya.
“Hei, apa-apaan denganmu!” Serunya tidak terima.
“Oh astaga, ha…haha…hahaha, maa…maafkan aku Kei.” Kataku disela-sela tawaku dan berusaha membersihkan wajahnya. Lalu, ia pun segera menepis tanganku. “Aku bisa melakukannya sendiri.” Aku pun semakin tertawa dibuatnya, dan hal itu tidak berlaku untukku saja namun Ayano pun juga ikut tertawa akan kejadian tersebut.
“Baiklah, sekarang katakan padaku, apa permintaan keduamu.” Kataku yang masih menahan tawa.
“Tch. Tunggu saja, pembalasanku.”
@@@
Aku pun mulai mengutuk diriku sendiri, ketika aku menawarinya tentang permintaan keduanya beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata ini toh yang dimaksud dengan pembalasannya. Aku diminta untuk mengenakan boneka kepala kelinci di kepalaku dan disuruh untuk berfoto bersama pada 5 pengunjung. Ah sial ini memalukan. Selain itu, Ayano pun ikut-ikutan untuk memfoto diriku. Hey, tunggu dulu! Sejak kapan ia membawa kamera?
Aku pun tersenyum senang dan lega ketika ini adalah pengunjung terakhir yang berfoto bersamaku. Lalu, setelah itu aku segera melepas helm besar yang berbentuk kepala kelinci itu dari kepalaku dan aku langsung menghirup udara segar. “Ah panas…panas sekali di dalam sini.” Seolah menyadari situasiku, tiba-tiba Ayano datang dengan membawa segelas jus strawberry.
“Inilah balasannya kalau kau mempermainkanku.” Katanya dengan tersenyum licik ke arahku.
“Hei, itukan tidak sengaja!” Seruku tak kalah ketus dengannya.
“Oh my…you are look like a couple.” Goda Ayano dengan tersenyum.
“WE ARE NOT!!!” Seru kami berdua secara bersama-sama.
“Haha, okay…okay…let’s we finish it quickly, it almost 11.30 p.m. and  30 minutes later is the fireworks launch. So, we better go now.” Jelas Ayano masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya yang cantik seperti seorang artis Jepang beranama Yui.
“So, where are we going? We can see the fireworks from here right?” Tanyaku pada Ayano.
“Yes we can, but it was not beautiful, it’s more beautiful if we look itu from high place. Come with me, I have a beautiful spot to look at it.”
Aku dan Kei pun langsung mengikuti Ayano dari belakang. Setelah kurang lebih 15 menit kami bertiga jalan kaki, sampailah kita disebuah tempat dimana kau bisa melihat seluruh desa dengan sangat jelas. Pemandangan dari atas sini sungguh sangat menarik. Dimana dari atas sini kau bisa melihat gemerlap lampu yang berjejer-jejer hingga berbentuk seperti ular naga panjang berwarna keemasan.
“Wah…this place is really beautiful. By the way, thanks Ayano!” Kataku dengan memeluknya. Lalu, ia pun tersenyum dan berkata, “Your welcome Aileen!”
Kemudian, aku pun terduduk di atas bukit yang menghijau itu, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku. Lalu, aku pun bisa merasakan jika kini Kei tengah berjalan kearahku dan duduk disampingku. Entah kenapa, sejak tadi aku merasa aneh dengan dirinya. Ini adalah pertama kalinya ia bersikap hangat kepadaku, yah walaupun tidak sepenuhnya, namun sikapnya sekarang lebih baik dibanding Kei yang dulu. Tanpa kusadari aku pun tersenyum dengan sendirinya. Lalu, aku pun mulai menyadari jika perasaanku terhadapnya sekarang jauh lebih kuat dibanding yang dulu. Entah kenapa, aku merasa jika sekarang aku jadi semakin menyukainya dan ingin terus berada di sampingnya.
“Hei, lihat itu! Mereka sudah meluncurkan kembang apinya.” Mendengar hal itu dari Kei, aku pun langsung menengadahkan kepalaku ke angkasa dan melihat kembang api yang meliuk-liuk indah di atas langit malam Tokyo. Tiba-tiba saja aku merasa, jika rasa kantuk perlahan sudah menyerang tubuhku dan membuat mataku semakin berat untuk terbuka.
“Hei, sekarang katakan apa permintaan ketigamu, hoah.” Kataku disela-sela kantuk yang menyerang. Hening, dan tidak ada suara kecuali suara ledakan kembang api yang membahana. Ah, ada apa dengannya? Apakah ia tidak mendengarku? Kenapa ia hanya diam saja? Lalu, aku pun mulai mendengar ia mendesah dan menghela nafasnya.
“Hm…apa ya? Aku…aku ingin kau terus berada disisi ku untuk selamanya….” Lalu kurasakan kepalaku sangat berat sekali. Tanpa memperdulikan situasi yang tengah terjadi, aku pun langsung menjatuhkan kepalaku tepat dipundaknya dan tertidur. Bisa kurasakan jika kini, Kei sedikit terkejut, dan ia pun akhirnya membiarkanku tertidur di bahunya. Walaupun aku kini tengah tertidur, aku masih bisa mendengar jika kini pemuda setampan malaikat itu tengah mengatakan sesuatu pada dirinya sendiri.
“Dasar aneh, kau belum mendengarkan permintaanku kau sudah tidur. Tapi, entah kau mendengarnya atau tidak, aku sangat ingin kau berada di sisi ku dan menemaniku untuk selamanya. Karena, aku….mencintaimu Aileen.”

Wina, Austria, Present Time
Tanpa kusadari, mengingat semua kejadian itu membuat air mataku terjatuh. Namun, aku segera menghapusnya ketika aku melihat album foto itu, album foto yang diberikan Ayano kepadaku. Lalu, aku pun mulai berpikir, ternyata ia mengabadikan semua momen yang kita habiskan bersama di Jepang. Bahkan aku pun tak menyadari jika diam-diam ia mengambil foto kami berdua. Maksudku aku dan Kei. Karena disana aku banyak sekali menemukan sebuah momen dimana aku dan Kei selalu berdua. Misalnya seperti foto ini, foto yang diambil ketika aku dan Kei tengah berkompetisi bermain pistol air konyol yang membuatku menjadi budaknya dan mengabulkan ketiga permintaanya. Atau sebuah foto lucu yang diambil oleh Ayano ketika eskrim yang ku bawa tidak sengaja mengenai Kei dan sukses membuatnya tampak konyol di foto itu.
Kemudian, sampailah diriku di foto terakhir yang ada di album ini, yaitu adalah fotoku dimana aku tertidur dan menyandarkan kepalaku di bahu Kei. Dan hal itu kembali membuatku tersenyum. Karena apa? Karena itu adalah pertama kalinya aku mendengar Kei mengutarakan perasaan yang sebenarnya kepadaku. Walaupun sebenarnya pada saat itu aku tengah tertidur, namun kedua telingaku masih bisa menangkap dengan jelas apa yang dia bicarakan.
Lama sekali aku memandangi foto itu, hingga aku tidak sadar jika sedari tadi pintu rumahku terbuka dan menampakkan sosok malaikat kecilku yang bernama Kael dan disampingnya berdiri Oliver, supir pribadi keluarga kami. Ternyata ia baru pulang dari sekolahnya. Lalu, anak itu langsung berlari kearahku sambil memelukku dan berkata, “Mom, bist du okay?”[8]
“Ja, mom is okay.”
“Mom, apa ini?”
“Ini adalah kiriman dari bibi Ayano, kau masih ingat dia kan?”
“Ya, bibi cantik yang suaranya bagus itu kan?”
“Ya, kau benar.”
“Mom, bolehkah aku melihatnya?”
“Ya, ayo kita lihat sama-sama.” Kataku tersenyum dan mengangguk menanggapinya.
Aku pun kembali menyaksikan, memori masa lalu yang diabadikan Ayano di album itu bersama dengan anakku Kael. Ia terlihat senang ketika ia kembali bisa melihat wajah ayahnya. Alexander Kei Farron. Walaupun itu hanya sebatas foto, tapi aku yakin jika ia sangat senang sekali bisa bertemu dengannya. Terkadang aku merasa kasihan padanya. Karena, diusianya yang masih kecil ia harus ditinggal oleh ayahnya tanpa mengetahui bagaimana sosok ayahnya dan bagaimanakah rasanya memiliki sosok seorang ayah.
Tapi, masa lalu biarlah masa lalu. Hal yang perlu aku pikirkan sekarang adalah bagaimana aku bisa berjuang untuk membesarkan anakku Kael dan bagaimana membuatnya bahagia. Kei, jika kau sekarang melihat kami berdua tersenyumlah, karena kami berdua sangat baik disini. Kuharap tuhan selalu menjagamu di surga.

FOOT NOTE :
[1]Entschuldigen Sie mich, das ist wirklich die Miss Aileen Farron? = permisi, apakah ini benar rumah Nona Aileen Farron?
[2]Ja, was ist es = ya ada apa?
[3]Bestehende bestehende Päckchen für Sie = ada kiriman paket untuk anda
[4]Ganbatte-ne = Semangat!
[5]doko ni anata wa watashi o totte iru? = kemanakah kau akan membawaku?
[6]Koko de = disini
[7]Ayano-san, matte!!! = Ayano, tunggu!!!
[8]Mom, bist du okay? = Mom, apakah kau baik-baik saja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Kehidupan di Kolong Jembatan

Sebuah Kehidupan Di Kolong Jembatan By : Huwaida Najla Alaudina  Apakah kalian tahu bahwa sesungguhnya dunia ini begitu kejam, dan apakah kalian tahu bahwa disektar kalian masih banyak sesorang yang kelaparan dan sakit-sakitan. Mungkin kalian masih berpikir, bahwa dunia itu kini sudah tidak ada. Dan ya, memang seharusnya dunia yang seperti itu memang tidak ada. Tapi tidak bagi segelintir orang yang hanya memikirkan harta dan kekayaan dan tidak peduli dengan orang-orang disekitar. Kurasa itu sungguh amat sangat kejam. Aku ingin kalian tahu bahwa aku memang hidup di dunia seperti itu. Aku bukanlah seseorang yang beruntung seperti kalian yang hanya bisa mengandalkan uang dari orangtua dan menghambur-hamburkannya. Kalian tahu, betapa mirisnya sebuah kehidupan yang harusku jalani, mungkin kalian akan menganggap bahwa sebuah dunia yang aku tinggali bersama keluargaku merupakan sebuah dunia yang tidak layak. Dan memang kenyataannya seperti itu, aku tinggal di sebuah kolong jembatan

Papua ??? Yes, We Have Batik

Papua ??? Yes, We Have Batik by : Huwaida Najla Alaudina Hi guys, you met me again here, and of course with a lot more to know with me. Now, I would like to tell you about an interesting story about Papua. Well, you know about Papua, don’t you?. I believe all of you will nod your head, right ?. Ok, just to remind you. Papua is the largest province of Indonesia,  located in the center of the Papua island or the eastern part of West New Guinea (Irian Jaya). Eemmh… don’t you know that actually Papua has so many cultures ?. And one of them is Batik. Moreover, UNESCO has even declared Batik as an object of cultural heritage produced by Indonesia. So,  batik is not only  from Java island but also from the rest of Indonesia. We can find various kinds of Batik. Even Papua itself also has Batik as its cultural heritage. So, what is so distinctive of Papua’s Batik and that of  other ethnical batik ?. Ok, here I’ll tell you. It is clear enough that Papua’s Batik has different char

"Behind The Mirror" Chapter 5

aaa ”Em...Ica, Lia, aku ingin bicara sebentar pada kalian berdua.” Kata Aline tiba-tiba pada mereka berdua. ”Hn...katakan saja, nyam..nyam...” Balas Ica sembari mengunyah makanannya. ”A..., kau tahu entah kenapa akhir-akhir ini ada serentetan kejadian aneh yang menimpaku. Seperti....” Katanya terpotong oleh Lia. ”Seperti apa ?” Sahut Lia menerobos kalimat-kalimat Aline. ”Seperti, aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat aneh sekali, dan dimimpiku aku bisa mengeluarkan api dari tubuhku. Dan keesokan harinya aku bisa mengeluarkan api itu, dan kau tahu kejadian 2 hari yang lalu ketika aku ada di lab kimia ?” ”Ya..., aku ingat tiba-tiba kertas yang ada di tanganmu terbakar kan? dan kupikir itu adalah sebuah kecelakaan biasa karena adanya reaksi kimia dari spiritus dan alkohol.” Kata Ica menambahkan. ”Eh, tunggu tapi bukankah pada saat itu, posisi Aline tidak berada di meja percobaan ?, diakan berada di meja di depan meja percobaan, dan dia sedang menulis, kan ?” Kata Lia b