Winter Spring
Wina, Austria, Present Time
Langit
mendung mulai menyelimuti kota wina. Kegelapan perlahan menyelinap masuk
disela-sela mendung. Mengundang hawa dingin untuk turut berpartisipasi.
Tetes-tetes hujan akhirnya turun, membasahi bumi yang kering-kerontang.
Menghidupkan kembali tanaman-tanaman mati yang mulai layu. Orang-orang mulai
berlarian kesana kemari dan mencari tempat berteduh. Ini adalah hujan kedua di
musim semi.
Ku
tatap butiran-butiran air yang meluncur bebas dari angkasa melalui jendela
rumahku. Menelusuri lekukan-lekukan yang dibuat air hujan itu di kaca
jendelaku. Membangkitkan sebuah memori masa lalu. Tanpa kusadari, hawa dingin
perlahan mulai menyeruak ke penjuru ruangan. Membuat tubuhku gemetar
kedinginan. Ku ambil secangkir coklat panas dengan asapnya yang masih
mengepul-ngepul. Ku hirup perlahan aroma manisnya, dan ku minum perlahan.
Ku
mengambil sebuah roti dari mesin pemanggang, ketika kudengar sebuah suara
“Beep”, pertanda roti yang kubakar di mesin pemanggang sudah matang. Ku makan
roti bakar itu beserta coklat panas yang sudah ada di tanganku untuk
menghangatkan tubuhku yang sudah mulai kedinginan. Sejenak kualihkan
pandanganku ke arah termometer ruangan yang terpasang di dinding. 18o
C. Itu adalah suhu yang lumayan dingin jika dibandingkan dengan di Indonesia
yang biasanya hanya mencapai 25-27o C di musim hujan.
Setelah
beberapa menit termenung memandang hujan. Aku mendengar suara dari handphoneku,
pertanda jika ada pesan yang masuk di dalamnya. Ketika aku membuka pengunci di
layar homscreenku hanya dengan sekali sentuh, aku bisa melihat sebuah nama yang
tertera disana. Sebuah nama yang sangat aku tidak inginkan, sebuah nama yang
sangat menyebalkan. Mr. Sinting. Itu
adalah sebutanku untuknya. Yah, bagaimana tidak, jujur saja, dia selalu
memberiku tugas aneh yang memiliki rentang waktu yang singkat. Misal, jika
besok dia sangat membutuhkan laporan atau hasil karyaku dia akan memberikanku
tugas H-4 sebelumnya. Bisa dibayangkan kan betapa mepetnya waktu yang kubutuhkan untuk menyelesaikan tugas darinya.
Dan itu terjadi tidak hanya sekali, tapi berkali-kali.
Mataku
membelalak lebar manakala aku membaca pesan yang dikirim oleh bosku. “Kau harus membuatkanku aransemen lagu baru
untuk OST game kita yang terbaru. 3 hari lagi harus jadi. Oke ? =D”. Apa-apaan
dengan emot senyum itu? Apakah dia
bermaksud mengejekku? Ah, sial. Dia pikir gampang apa membuat aransemen lagu
baru dalam waktu 3 hari. Ku acak-acak rambutku sambil berteriak frustasi. “Argh
!!! apa-apaan dengan orang itu? Dia pikir gampang apa buat lagu hanya dalam
waktu 3 hari?”
Segera
aku beralih ke meja kerjaku dan mencari-cari buku yang sering ku gunakan untuk
mengaransemen lagu. Mencari-cari sebuah lagu yang belum pernah aku gunakan
dalam soundtrack. Ketika aku membuka
tumpukkan buku-buku lamaku, tiba-tiba saja sesuatu terjatuh dari sana. Ternyata
itu adalah sebuah post card. “Hm…kenapa ini ada disini? Aku tidak ingat pernah
mendapatkan post card ini.” Ketika aku membalikkan post card tersebut, betapa
kagetnya diriku mendapati gambarku ada disana. Serta sebuah kalimat
bertuliskan, ‘Aku akan menunggumu di
jembatan Avignon. Jam 8 malam[A.K.F]’
Ah,
itu ternyata darinya. Melihat hal itu, tiba-tiba saja tanganku bergetar dengan
sendirinya. Dan bulir-bulir air mata pun tiba-tiba saja terjatuh. “Ah, kenapa
aku harus menangis?” Lalu, tanpa seizinku, memori masa lalu tentang dirinya dan
aku berputar begitu cepat di kepalaku.
Avignon, Paris, 2008
Suara
riuhnya para pemain menggema di setiap sudut ruang musik. Membuat pusing siapa
saja yang mendengarnya. Ya, bagaimana tidak, disini banyak sekali para pemain
konser yang tengah mempersiapkan alat musik mereka masing-masing. Ada yang
tengah menyiapkan seruling, oboe, biola, piano dan lain sebagainya. Bahkan aku pun merasa aneh berdiri di ruangan
ini. Karena apa? ya, mereka terlalu sibuk memikirkan diri mereka masing-masing
dan tidak memperdulikan hak orang lain yang juga membutuhkan tempat ini untuk
berlatih. Mereka semua langsung berhenti beraktifitas mana kala instruktur
mereka masing-masing mulai angkat bicara. Termasuk Nyonya Florence. Instruktur
musikku dan dirinya.
“Bagaimana
persiapan kalian berdua? 3 hari lagi konser akan dimulai.”
“Dia
masih payah dengan chopin.” Kata-kata
orang itu sukses menohok diriku. Astaga, apa yang dipikirkan oleh orang itu?
Tidak bisakah dia membantuku sedikit? Toh aku adalah partner berduetnya nanti.
“Kei
!!!” seruku tidak terima.
“Well,
aku memang payah. Tapi, permainanku sudah jauh lebih baik dari 2 hari yang
lalu.” Lanjutku dengan ketus. Mrs. Florence lalu melirik ke arahku dan
menghembuskan nafas panjangnya. “Baiklah, aku ingin mendengarnya. Tapi tidak
disini, terlalu ramai.”
Aku
pun segera mengepak biolaku ke dalam tas dan berjalan mengikuti Mrs. Florence
dari belakang. Sesekali aku pun melirik kea rah Kei, pemuda berambut coklat,
berwajah sempurna seperti malaikat surga yang tadi sukses menohok hatiku dengan
kata-katanya yang tajam. Astaga, barusan aku mengatakan dia tampan? Ah
tidak-tidak, apa yang terjadi denganku? Well, ku akui dia memang tampan, tapi
hatinya tak setampan wajahnya.
“Apakah
kau akan memandangiku terus, hm?” Tanyanya dingin. Sial, aku ketahuan. Wajahku
pun memerah, senada dengan dress selutut yang kukenakan saat ini. “Ap…apah? Aku
tidak memandangimu kok.” Kataku membuang muka.
“Oke,
terserah jika kau tidak mau mengakuinya.” Katanya yang langsung meningkatkan
kecepatan jalannya menyusul Mrs. Florence yang ada 1 langkah di depannya. Sial,
apa yang dikatakannya barusan? Gawat, wajahku pasti sudah merah padam seperti
kepiting rebus. Orang itu memang perlu diberi pelajaran. Sedetik setelah Kei
meningkatkan kecepatan jalannya, bisa kudengar jika Mrs. Florence tengah
terkikik geli. “Kalian berdua memang lucu ya, kalian selalu berduet ketika
konser tapi sejak dulu tidak pernah akur.”
“Salahkan
saja dengan prilakunya yang dingin !” Seruku ketus.
@@@
Sesampainya
di ruang musik yang lebih tenang dan sepi dari sebelumnya. Mrs. Florence
langsung menyuruh kami berdua memposisikan diri masing-masing. Kei dengan
pianonya dan aku dengan biolaku. Mrs. Florence memberi aba-aba kepada kami
berdua untuk memainkan lagu bernama La
Noir, itu adalah lagu ciptaan kami bertiga aku, Kei, dan Mrs. Florence.
Oke, lagu bernuansa mellow beritme cepat itu berhasil kami mainkan dengan
mudahnya. Yah, hal itu dipengaruhi karena lagu itu adalah ciptaan kami sendiri,
jadi wajar jika kita langsung bisa memainkannya tanpa disertai persiapan yang
berat.
Ketika
Mrs. Florence menyuruh kami berdua untuk memainkan salah satu lagu milik Chopin
yaitu La Campanella, aku pun langsung
meneguk ludah. Lagu tersusah yang pernah aku pelajari. Pertama, kebanyakan lagu
Chopin adalah dimainkan dengan piano. Kedua, aku bukan pemain piano. Ketiga,
aku harus mengimbangi permainan La
Campanella Kei dengan biolaku, dan dengan terpaksa aku harus banting stir
untuk menciptakan notasi pengiring dan yang paling terpenting, itu susah. Bisa
diulangi lagi SUSAH.
Ketika
irama pembuka La Campanella yang
beritme cepat itu berhasil dimainkan oleh Kei. Aku segera mengangkat biolaku
dan mulai mengiringi permainan pianonya dengan biolaku. Sial, aku terlambat
satu detik. Terpaksa aku harus mengejar ke permainan cepatnya yang memiliki
birama 1/16. Astaga cepatnya bukan main. Ketika lagu itu selesai, aku pun
menurunkan biolaku dan mengendurkan bahuku. Aku pun terduduk kesal, meratapi
permainanku yang sangat jelek.
“Sudah
kubilang, permainannya sangat payah di Chopin.” Mendengar penuturan yang keluar
dari Kei, aku semakin menyadari jika aku mungkin tidak layak untuk ikut konser
besok. “Kei !!! jaga bicaramu! Jika kau adalah partner yang baik, kau juga
harus bisa mengarahkannya.” Seru Mrs. Florence membelaku. Lalu, aku bisa
merasakan tangannya menyentuh pundakku dengan lembut. Berusaha untuk
menenangkanku dan mengembalikkan semangat bermusikku. Sedangkan Kei, partnerku
yang kejam, dia pergi meninggalkanku dan Mrs. Florence. Hei, ada apa dengannya?
Apakah dia marah? Seharusnya aku yang marah, karena jika ia adalah partnerku,
seharunya dia juga harus bisa membimbingku dan menyamakan tempo serta iramanya
denganku. Partner macam apa dia?
Air
mataku sempat hampir metes dari kedua mataku, tetapi tidak jadi ketika, Mrs.
Florence mulai menenangkan hatiku yang kacau dengan kata-katanya yang lembut.
“Aku yakin kau pasti bisa. Aileen yang kukenal adalah sosok yang tidak mudah
menyerah, dia bahkan seorang gadis yang sangat kuat dan jenius. Jika dia sedang
ingin mendapatkan sesuatu, hanya dengan sekali kedipan mata, dia langsung bisa
mendapatkannya. Bahkan Aileen yang kukenal, adalah sosok yang jenius. Dulu
sekali, ketika kau masih SMA, kau dan Kei adalah satu-satunya muridku yang
paling berbakat. Terlebih lagi dirimu, hari ini kuberikan kau sebuah partiture
lagu, keesokan harinya kau langsung bisa memainkan lagu itu dengan lancar dan
benar. Masih ada 3 hari lagi. Kau harus berjuang !” Kata-kata itu, langsung
merasuk ke dalam jiwaku. Entah mengapa, dari dulu sampai sekarang, kata-kata
wanita yang kini sudah berumur 48 tahun itu selalu bisa membuatku semangat
kembali.
Aku
langsung menolehkan kepalaku menghadap wajahnya dan tersenyum, “Terimakasih,
Mrs. Florence.”
@@@
Berjam-jam
sudah aku berlatih di ruangan ini sendirian. Ketika aku melirik ke arah jam
tangan yang ku kenakan, jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat 15 malam. Astaga
sudah 6 jam rupanya aku berlatih sendirian disini. Nampaknya, aku mulai merasa
otot-otot tanganku mengejang dan kaku, karena terlalu lama memainkan biola. Tak
hanya itu saja, pundakku serasa pegal dan sakitnya bukan main. Hal itu pun
semakin terasa ketika, aku menurunkan biola yang kumainkan. Aku merasakan jika
sendi engsel lengan atasku serasa ingin copot dari tempatnya.
Aku
pun beristirahat sejenak dari latihanku dan pergi keluar sebentar. Ah, Avignon
pada malam hari sungguh lebih indah daripada yang kubayangkan. Terlebih lagi,
suasana disini sungguh berbeda dengan Indonesia, negara kelahiranku. Walaupun
jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun disini masih banyak
orang berlalu-lalang mengerjakan aktivitas mereka masing-masing. Sejenak aku
pun melirik ke arah sebuah banner raksasa yang terpasang di perempatan jalan
bertuliskan. “Festival d’hiver, Avignon. Ne manquéz pas le concert d’hiver Avignon.
19 heures, Hall d’Avignon Star.”[1]
Ah,
itu adalah konser musim dingin yang akan aku hadiri bersama Kei. Ketika aku
kembali mengingat, tulisan di banner itu, aku kembali mengingat latihanku
dengan Kei tadi. Apakah permainanku tadi sebegitu jeleknya? Ah tidak-tidak, aku
tidak boleh berpikiran seperti itu. Semakin lama aku berjalan, membaur dengan
hingar-bingar kota Avignon. Semakin lama pula angin musim dingin menerpa kulit
tipisku, dan butiran salju pun turun. Aku kembali menggigil kedinginan. Lalu,
kurapatkan mantel tebalku dan kuselipkan kedua tanganku ke dalam saku mantel.
Aku pun berhenti di sebuah stand minuman, dan seorang pria berumur 50 tahunan
berambut putih menyapa ku dengan ramah. “Il
puis-je vous aider, mademoiselle?”[2]
“Ah, un chocolat chaud
s'il vous plaît.”[3] Tak
lama setelah itu, bapak penjual minuman itu langsung memberikan coklat panas
pesananku.
“Merci.”
Kini
disinilah aku, berdiri di atas Jembatan Avignon menatap butiran-butiran salju
yang turun dari langit. Sungguh, suasana disini sangat indah sekali. Hingga
kemudian, aku pun terbawa suasana dan menyadari jika coklat panas yang kubawa
sudah habis. Ku lihat jam tanganku yang kini sudah menunjukkan hampir tengah
malam. Astaga, sudah berapa lama aku disini? Walaupun waktu sudah hampir
menunjukkan tengah malam, tapi jalanan yang tadi kulewati masih tetap ramai
akan manusia. Terlebih lagi, masih banyak dari mereka yang menyiapkan toko-toko
mereka untuk menyambut festival musim dingin 3 hari lagi. Karena saking
ramainya jalan ini, aku bahkan tidak bisa memfokuskan indera pendengaranku,
jika sedari-tadi ada seseorang yang tengah meneriakkan namaku berulang kali.
Hey, tampaknya aku kenal dengan suara ini.
“AILEEN
!!!” Ya aku yakin, suara semerdu burung camar itu adalah miliknya. Milik
Alexander Kei Farron, pemuda dingin yang aku sukai dari dulu hingga sekarang.
Belum sempat aku menolehkan kepalaku, tiba-tiba saja seseorang menarik tanganku
begitu saja. Hingga aku jatuh ke dalam pelukan orang yang menarikku. Betapa
terkejutnya diriku, menyadari bahwa orang yang tengah memelukku sekarang adalah
Kei.
“Bodoh,
kemana saja dirimu ! kau tahu betapa khawatirnya diriku.” Ujarnya selepas
memeluk diriku. Tunggu, apa katanya? Dia khawatir padaku? Apakah aku tidak
salah dengar? Mendengar penuturan Kei yang tiba-tiba, berhasil membuatku
melongo memandangnya. “Huh?”
“Kau
tahu, Mrs. Florence sudah mencarimu kemana-mana sejak tadi. Bahkan aku pun
tidak bisa menghubungi ponselmu.” Bisa kudengar sebuah nada khawatir terselip
di sela-sela kata yang diucapkannya. Pertanda jika dia memang benar-benar
mengkhawatirkanku.
“Ah
benarkah? Astaga, 20 missed call dan 10 unread message. Maaf, aku meng-silent handphoneku.”
“Kau,
memang selalu ceroboh. Sekarang ayo pulang.” Katanya. Tanpa menunggu
persetujuan dariku, ia pun langsung menarik lengan kiriku. Sontak saja aku pun
mengaduh kesakitan. Kei pun nampak sedikit terkejut. “Ada apa dengan tanganmu?”
tanyanya lembut.
“Ah,
tidak apa-apa kok, aku hanya keseleo sedikit.” Untuk memastikan kebenaran dari
ucapanku, ia langsung menarik tanganku dan memperhatikan jari-jemariku yang
terluka karena terlalu lama menekan senar biola. “Kau jelas kenapa-kenapa, kau
tahu, kenapa kau selalu tidak bisa menjaga dirimu sendiri? Kau seharusnya tahu
jika 3 hari lagi kau akan berduet denganku, kau tentunya tidak bisa mengacaukan
konser kita kan?” cerocosnya tanpa henti. “Iya, aku tahu. Maaf.” Kataku dengan
sedikit menunduk. “Baiklah, sekarang ayo pulang.”
Semalaman
aku pun terus berpikir dan memandangi jari-jemariku yang beberapa saat yang
lalu telah diobati oleh Kei. Ini adalah pertama kalinya ia bersikap seperti ini
kepadaku. Ada apa dengannya? Aku pun belum pernah melihat dia sebegitu
khawatirnya terhadapku. Aku pun berpikir, apa yang membuatnya seperti itu? Di
suatu sisi, jika dia sedang jahat, maka ia akan sangat jahat padaku, bahkan
kejahatannya melebihi seorang kriminal yang dipenjarakan di Penjara Guantanamo.
Jika ia sedang baik, maka ia akan sangat baik padaku, melebihi seorang
malaikat. Tunggu, apakah ia memiliki kepribadian ganda?
@@@
Jantungku
semakin berdebar dengan kencang ketika aku mendapati hari ini adalah hari
konser duetku bersama dengannya. Aku menarik nafas panjang, ketika Mrs.
Florence instruktur musik sekaligus manager kami berdua memberitahu urutan
tampil kami. Aku semakin beringsut di kursi rias ruang ganti, ketika mengetahui
kami tampil di urutan ke 6 tepat setelah grup Phoenix, grup orkestra paling
terkenal di Perancis tampil.
Aku
tak pernah berhenti menggigiti kuku, ketika juru rias sedang sibuk merias
wajahku. “êtes-vous nerveux?”[4] tanya juru rias yang
bertugas merias wajahku. “Huh? Oui.”[5] Jawabku. “Je suis sûr que vous serez très bien.
esprit!”[6] “Merci, Miss.
Rosaline.” Kataku sambil tersenyum padanya.
“Nah, c'est fini.
Regardez, comment vous êtes joli!”[7]
Seru
Miss. Rosaline dengan tersenyum ke arahku. Menanggapi perkataan dari beliau,
aku langsung melihat takjub ke arah cermin. Apakah sosok yang ada di dalam
cermin itu adalah diriku? Aku bahkan sempat tak mengenali sosok gadis berambut
coklat panjang yang digelung keatas dibalut dengan gaun merah marunnya yang
elegan. Serta polesan make-up dari Miss. Rosaline yang membuatku terpana. Aku
bahkan sempat berpikir jika sosok gadis yang terperangkap di dalam cermin itu
adalah jelmaan dari bidadari surga.
Aku
semakin gugup ketika pembawa acara mengumumkan jika ini adalah giliran kami
untuk tampil. Entah kenapa, tiba-tiba saja langkahku terasa berat. Tanganku pun
bergetar dengan sendirinya. Sebelum langkahku mencapai bibir panggung, aku
merasakan sebuah kehangatan menjalar perlahan dari telapak tanganku. Ketika aku
melihat ke sebelahku, Kei tengah menggenggam tanganku sambil mengurai
senyumannya ke arahku. “Tenanglah, anggap ini seperti latihan.” Ujarnya sebelum
menuntunku berjalan bersamanya memasuki panggung.
Lagu
pertama, River Flows in You berhasil
kita bawakan dengan sukses. Aku bahkan berani menjamin jika banyak dari
penonton yang menikmatinya. Hal itu terbukti dengan banyaknya tepukan tangan
dari penonton ketika lagu ini selesai kita mainkan. Lagu kedua, La Noire lagu ciptaan kita sendiri juga
berhasil dibawakan dengan sukses, bahkan sebelum lagu ini berhenti, aku bisa
mendengar para penonton bersorak-sorai. Bahkan ketika La Noire mencapai klimaksnya, aku bisa dengan jelas mendengar isak
tangis dari penonton yang menghayati lagu tersebut. Jantungku kembali berdegup
dengan kencang, ketika lagu ketiga yaitu lagi miliki Chopin La Campanella akan dimainkan. Lagu yang
berhasil membuatku terjaga sampai semalaman suntuk, lagu yang menurutku susah
sekali untuk ditaklukkan. Mendapati kegelisahanku, Kei pun tersenyum ke arahku
dan menganggukkan kepalanya. Berkata seolah, tidak akan terjadi apa-apa ketika
kau memainkannya. Benar saja, ketika intro dimainkan olehnya, dan aku mulai
masuk mengiringi, aku berhasil dan tidak terlambat sedikit pun seperti
latihanku yang sebelumnya. Aku pun merasa sedikit lega dan mencoba untuk
merileksan pergelangan tanganku agar lebih mudah menggerakkan bow ke atas dan ke bawah.
Tanpa
kusadari, aku dan Kei pun menghentikkan permainan kami. Pertanda, lagu yang
kami mainkan sudah selesai. Lalu, aku bisa melihat para penonton memberikan standing applause untukku dan Kei. Tak bisa
dibayangkan, betapa bahagianya diriku saat itu. Akhirnya, seluruh usahaku
selama ini, untuk menaklukkan La
Campanella milik Chopin berhasil dan mendapatkan standing applause yang cukup meriah dari para penonton.
Ketika
di ruang tunggu, Mrs. Florence pun langsung memeluk kami berdua dengan senang.
Aku pun tersenyum dan membalas pelukannya. “Lihatkan ! kau pasti bisa.” Kata
Mrs. Florence dengan gembira. “Ya, ini semua juga berkat anda Mrs. Flo.”
Sejenak aku pun melirik ke arah Kei dan aku pun mendapati ada sesuatu yang aneh
dengan dirinya. Tiba-tiba saja wajah tampannya pucat sepucat hantu, ketika ia
berjalan meninggalkan kita berdua, bisa kutangkap dengan jelas jika ia akan
kehilangan keseimbangan.
“Kei,
kau tidak apa-apa kan?” Kataku dengan menyangga tubuhnya agar tidak limbung ke
tanah.
“Tidak
aku baik-baik saja.” Jawabnya lemah.
“Baik-baik
saja bagaimana, lihat saja mukamu pu….” Belum sempat aku melanjutkan
kata-kataku, ia pun langsung menyelanya dengan kasar. “Sudah kubilang, aku
tidak apa-apa! Menyingkirlah!”
“Kei…..”
Aku pun hanya bisa berdiri memandangnya pergi menjauh dariku.
Ketika
aku tengah membereskan barang-barangku di ruang ganti. Aku melihat ada sebuah
post card tertempel di atas violin case-ku.
Ketika aku mengambil post card tersebut dan memnaliknya, betapa terkejutnya
diriku mendapati gambarku tengah bermain biola terlukis disana. Ketika aku
melihat di sudut paling bawah post card tersebut, aku menemukan sebuah pesan
yang bertuliskan, ‘Aku akan menunggumu di
jembatan Avignon. Jam 8 malam [A.K.F]’
Wina, Austria, Present Time
Entah
kenapa, mengingat semua kejadian itu seolah membuat air mataku tak bisa
berhenti mengucur dari pelupuk mataku. Dadaku pun serasa sesak, dan aku pun
mulai sesenggukan mengingat semua memori indah masa lalu itu. Aku pun mulai
berpikir, andaikan manusia bisa kembali ke masa lalu, maka aku akan terus
tinggal di masa itu tanpa pernah berpikir untuk kembali lagi ke masa depan.
Karena disitulah, aku bisa merasakan kebahagiaan, kebahagiaan bersama dengan
dirinya.
Tanpa
kusadari, buku musik lamaku pun terbuka. Ketika aku sekilas meliriknya,
kata-kata itu langsung saja teringang di dalam benakku. “Winter Spring”. Lagu terakhir yang aku ciptakan bersama dengan
dirinya. Dirinya yang tentunya tidak pernah kembali ke dunia ini, untuk
menemaniku. Pintu ruang kerjaku yang terbuka itu tiba-tiba saja menampakkan
sosok malaikat kecil berambut coklat dan bermata hijau emerald. Jika
kuperhatikan lebih lanjut, wajahnya sedikit mengingatkanku padanya. Ya, dia
memang mewarisi wajah dan warna mata yang sama dengan ayahnya. Alexander Kei
Farron. Tiba-tiba saja anak laki-laki itu mengahmbur ke arahku dan memelukku
dengan erat.
“Mom,
aku tidak bisa tidur. Bisakah kau menemaniku, mom?” tanyanya polos. Aku pun
tersenyum, dan mengangguk, lalu menggiringnya masuk ke dalam kamarnya. Aku
memeluknya dengan erat dan mengelus ubun-ubunnya. “Mom, bisakah kau
menceritakan padaku tentang, ayah? Aku sangat ingin tahu seperti apa dia.” Deg,
kenapa tiba-tiba dia menanyakan tentang ayahnya? Perasaan apakah ini? Tanpa
kusadari, air mataku pun terjatuh perlahan.
“Kau
ingin tahu seperti apa ayahmu?, tunggu sebentar aku akan mengambilkan sesuatu.”
Tak lama setelah itu aku pun kembali dengan sebuah album berwarna keemasan
bersamaku. Lalu, aku membukanya perlahan dan menceritakan pada anakku seperti
apa ayahnya di waktu dulu. Benar seperti dugaanku, sekilas aku bisa melihat
senyuman mengembang di wajahnya. “Wah mom, lihat, ternyata ayah seperti aku
ya?” dengan menyembunyikan perasaan sedihku aku pun hanya bisa mengangguk dan
tersenyum menanggapinya. “Oh ya mom, bisakah besok kita mengunjungi ayah lagi?
Aku ingin bercerita sesuatu padanya.”
“Baiklah
Kael, besok kita akan menemui ayahmu.”
“Benarkah
mom? Yay! Aku sayang sama mom.”
“Mom,
juga.” Kataku singkat sambil memeluk dan mengelus-elus rambutnya.
@@@
Kini
aku dan Kael anakku, berdiri tepat didepan sebuah batu nisan yang berukirkan
namanya. Nama ayah dari anak yang berdiri di sampingku. Alexander Kei
Farron. Lain halnya denganku yang
menatap nisan ini dengan pandangan sedih, kegembiraan justru terpancar di wajah
polosnya. Mata hijaunya pun berbinar-binar dan senyumnya merekah ketika ia
mulai bercerita pada ayahnya. “Ayah, lihat aku mengunjungimu bersama mom, ayah
kau tahu, mom selalu merindukanmu lho! Bagaimana kabar ayah disana? Aku
berharap ayah selalu baik-baik saja. Oh ya ayah, kemarin aku mendapatkan
penghargaan dari sekolah lho, dan katanya aku akan diikutkan dalam festival
piano junior besok di sekolah. Aku berharap, dari atas sana ayah bisa melihat
permainanku ya?”
Mendengar
penuturan polosnya, aku pun meneteskan air mataku. “Mom, kau tidak mengatakan
sesuatu untuk ayah?”. Aku pun menoleh ke arah Kael, anak semata wayangku, dan
tersenyum. “Baiklah, kurasa mom sudah kehabisan kata-kata. Tapi, Kei aku dan
Kael baik-baik saja disini, ku rasa Kael sangat mewarisi seluruh penampilan
fisikmu, tapi aku bersuyukur karena dia tidak mewarisi sikap dinginmu itu. Aku
masih sangat mencintaimu, Kei.” Hanya itulah kata-kata yang bisa aku ucapkan
untuknya sebelum akhirnya air mataku jatuh dan menangis. Selamat tinggal Kei.
Jaga dirimu baik-baik disana.
Foot notes :
[1]Festival
musim dingin Avignon. Jangan lewatkan konser musim dingin Avignon. Jam 7 malam,
Avignon Star Hall.
[2]Ada yang bisa saya bantu, nona?
[3]Ah, tolong coklat panasnya 1
[4]Apakah anda gugup?
[5]ya
[6]Aku yakin kamu pasti bisa, Semangat!
[7]Nah selesai, lihatlah betapa cantiknya
anda!
Komentar