THE UNKOWN MEMORIES
PROLOG
Angin, dingin, hujan, adalah ketiga
unsur yang tak akan pernah lepas ketika langit meneteskan air mata. Gadis itu
termangu di depan jendela besar kamarnya. Menatap langit kelabu dengan kedua
mata indahnya. Seolah ada kegelisahan tersirat dari sorot matanya. Ia
mengehembuskan nafas panjangnya, guna mengurangi beban berat di hatinya. Entah
apa yang membuatnya seperti itu. Tidak ada yang tahu.
Hari ini adalah hari kesekian kalinya
gadis itu mengurung diri di kamarnya yang luas bak kamar seorang putri. Bahkan
ia pun tak pernah menyaut ajakan para dayangnya bahkan ajakan Ratu untuk keluar
dari sangkarnya. Ketika seorang wanita yang sudah berumur kepala 5 datang
menghampirinya, gadis itu sama sekali tak memberikan respon. Sekarang ia bagaikan
orang yang sudah kehilangan akal dan jiwanya. Bahkan setiap orang yang bertemu
dengannya pasti akan mengatakan hal yang sama bahwa Yang Mulia Putri sudah
bukan Putri yang dulu mereka kenal. Putri Kerajaan Divia yang selalu bersinar
membawa kehangatan bagi sekelilingnya kini sudah tidak ada.
Tubuh Ratu pun bergetar hebat melihat
kondisi menantunya itu. Pandangan matanya kosong, menyiratkan tubuh yang tengah
teronggok di hadapannya itu bukanlah tubuh yang berjiwa. Dalam diam Sang Ratu
pun menangis. Ia tidak tahan melihat gadis yang sudah dianggap seperti anaknya
sendiri menjadi seperti itu. Ratu pun angkat bicara dan menyuruh Putri itu
untuk segera makan. “Putri Alivia makanlah. Kau sudah 3 hari ini belum makan.”
Namun sosok yang tengah diajaknya bicara itu hanya terdiam bagaikan patung tak
bernyawa.
Gadis yang tengah diajak sang ratu
bicara itu masih diam tak bergeming. Ia masih saja memandang keluar jendela,
memandang hujan, memandang langit. Matanya bengkak dan menghitam, wajahnya
lusuh. Hal ini membuktikan bahwa sang putri tidak bisa beristirahat dengan baik
dan terus saja menangis. Hingga pada akhirnya, ratu pun kembali dengan masih
terisak dan segera menyuruh para dayang untuk masuk ke dalam dan membawakannya
makanan.
Sesuap demi sesuap makanan masuk ke
dalam perutnya yang belum terisi selama 3 hari ini. Para pelayan yang bertugas
untuk menyuapinya tak kuasa melihat perilaku putri mereka, dengan hati yang
tercekik, mereka terus menyuapi putri mereka. Hingga tiba-tiba saja setetes air
mata mengalir dari pelupuk matanya. Pikirannya sudah terbang menjelajah ke
samudra memori masa lalu. Dimana ia pertama kali bertemu dengan pangerannya,
bercanda tawa dengan pangerannya, dan ketika ia pertama kali merasakan jatuh
cinta pada pangerannya serta ketika ia menikah dengan pangerannya.
Memori-memori indah itu terus meluncur deras bagaikan kereta api yang
kehilangan kendali. Tetapi, justru memori itulah yang kian membuatnya
meneteskan air mata.
Terlebih lagi ketika gadis bernama
Alivia itu teringat akan kejadian dimana sang pangeran pergi meninggalkannya.
Dimana sang pangeran harus ikut berperang guna mempertahankan kerajaan mereka.
Dan dimana, ketika sang pangeran harus terbunuh dalam perang itu, menyisakan
lubang besar di dalam hati gadis cantik itu. Bahkan tak ada seorang pun yang
mempunyai obat mujarab untuk menutupi lubang besar yang menganga itu.
Hari itu, ketika sang mentari tengah
tersenyum cerah, burung-burung beterbangan, tupai-tupai tengah bergelayut manja
di pepohonan, serta bunga-bunga tengah bemekaran indah menunjukkan
warna-warnanya yang tersembunyi. Berita itu datang, berita tentang kehancuran
kelima negara sihir karena pasukan penyihir jahat. Gressil. Ya, Gressil adalah
musuh terbesar kelima negara sihir. Bahkan namanya pun membawa kutukan tersendiri
bagi orang-orang yang mendengarnya. Ketika Gressil bangkit, ia seolah sudah
menguasai seperlima bagian dari negara sihir, dan kini semakin besar dan
semakin melebar kekuasannya. Dunia seakan sudah tenggelam semakin dalam ke
dunia kegelapan. Pasukan kematian berkuasa, penyihir putih mati dan
membangkitkan penyihir kegelapan. Manusia-manusia biasa tak akan bertahan lama
dan pada akhirnya akan meninggal dan jiwa mereka akan menjadi budak pasukan
kematian untuk selamanya.
Pangeran tampan Negeri Divia itu datang
menemui istrinya dengan ekspresi sedih, lusuh, berat, dan sangat susah
menggambarkan ekspresi yang terpampang di wajah tampannya yang bagaikan seorang
malaikat. Kedua mata beriris merah itu melihat seorang gadis cantik tengah
terduduk diatas bangku taman dengan bunga-bunga dandelion yang tengah
mengelilinginya. Pemuda itu datang menghampirinya. Ketika pertama kali melihat
wajah itu, gadis itu langsung menyadari apa yang terjadi.
“Kau sudah tau ?” Tanya pemuda itu.
“Ya, jika ini bukan karena aku, Gressil,
iblis itu pasti tidak akan bangkit. Andai saja aku, waktu itu mengorbankan
diriku untuk semuanya, pasti tidak akan menjadi separah ini.”
“Tidak, aku tidak akan pernah
membiarkanmu melakukan ritual itu. Ingat, kau adalah sosok yang ditakdirkan
untuk menjaga Divia dari iblis-iblis kegelapan. Bagaimana bisa, seorang
pelindung Divia harus mati.” Sejenak Alivia memandangi wajah tampan suaminya
itu dengan lembut. Ia menyadari kekhawatiran pemuda itu akan dirinya. Hal itu
tergambar jelas di wajahnya.
“Apakah kau akan ikut dalam peperangan
itu ?” Tanya Alivia dengan nada khawatir yang tersembunyi didalamnya.
“Ya, aku akan berangkat malam ini.”
Pemuda itu memalingkan wajahnya dari gadis yang tengah menatapnya dengan
tatapannya yang lembut.
“Aku ikut.”
“Tidak. Kau harus disini.”
“Kenapa ?, kau sendiri tau jika, aku
adalah pelindung Divia, dan kau pun tahu jika kekuatan sihirku jauh diatasmu.”
Mendengar hal itu, pemuda tersebut langsung memukul pelan kepalanya dan
mengatainya ‘bodoh’ dengan tersenyum manis.
“Kenapa kau tertawa ?, apa ada yang
lucu dengan kata-kataku ?”
“Oleh karena itu, para tetua dan para
master tidak mengijinkanmu untuk ikut. Jika kau ikut dan Gressil mengetahuinya
maka ia pasti akan membawamu pergi. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi.”
Mendengar hal itu, Alivia langsung cemberut dan menggembungkan pipinya, membuat
siapapun yang melihatnya akan merasa gemas dan langsung mencubit pipinya.
Malam yang sangat tidak diinginkan
Alivia pun tiba. Ketika ia datang bersama dengan sang ratu, ribuan guardian
Divia sudah berkumpul di balai kota. Saat itu juga adalah saat perjumpaannya
yang terakhir dengan pangerannya. Dengan berderai air mata Pangeran Cain
langsung memeluk istrinya itu sebelum ia pergi berperang. Ia juga berpesan agar
Alivia menjadi sosok putri yang baik, sosok putri yang dapat diandalkan di
kerjaannya, dan sosok putri yang selalu tersenyum ceria bagaikan mentari pagi.
Keduanya saling bertemu pandang, dan sebelum Cain pergi meninggalkannya, kedua
bibir mereka pun saling bertaut. Sebuah ciuman yang dipenuhi oleh air mata dan
kesedihan tersirat di dalamnya, sebuah ciuman panjang yang mungkin saja ciuman
terakhir mereka. Ciuman itu terasa sangat manis baginya, bahkan keduanya seolah
tak mau melepaskannya, hingga kebutuhan akan oksigen pun terpaksa menghentikan
keduanya. Sebelum Cain melangkah pergi, sejenak ia memandangi Alivia dengan
tersenyum dan berkata, “Jaga dirimu baik-baik.”
Alivia hanya berdiri dan menatap
punggung pemuda yang dicintainya dengan berlinangan air mata. “Tuhan, aku mohon jagalah dia.” Ketika
sang Raja Divia yang bernama Cloud menyerukan semangatnya kepada ribuan
guardian yang bersamanya langsung disambut dengan sorak-sorai seluruh guardian
dan hal itu merupakan tanda bahwa mereka akan berangkat untuk berperang.
Suara aduan pedang menggema
disana-sini. Kilatan-kilatan cahaya sihir saling sahut-menyahut. Bahkan, anima-anima pun banyak yang berlalu
lalang guna membantu master mereka berperang dan merebut kemenangan. Para
kesatria, guardian, penyihir, Bangsa Elf, semuanya bersatu padu untuk memukul
mundur para pasukan kematian Gressil. Terdengar suara terompet tengah
dibunyikan sangat kerasnya. Hal itu otomatis membuat siapa saja yang bertempur
di medan perang mengalihkan perhatian mereka ke sumber suara. Bahkan, tak lama
setelah suara terompet itu dibunyikan, langit pun menjadi bergemuruh, seolah
ada ribuan makhluk yang akan datang dan merobek langit. Benar saja, tak lama
setelah itu, datanglah ribuan monster terbang berbentuk tengkorak naga dengan
api berwarna hijau diseluruh tubuh mereka. Mereka dinamakan ‘Death Riders’.
Kedatangan mereka membawa berita kematian bagi seluruh manusia.
Sang Putri Divia tengah berdiri
memandang lingkungan di hadapannya. Ia biarkan rambut panjang bergelombangnya
tergerai indah dan menari-nari diterpa angin. Dari atas balkon istana, ia bisa
melihat banyak asap hitam mengepul-ngepul dan warna langit yang makin kelabu.
Tiba-tiba saja sesuatu jatuh dari pelupuk matanya. Ia menangis. Sang putri pun
memohon pada tuhan agar Cain selalu berada di bawah lindungan-NYA.
“Kapan ini akan berakhir ?”
“Kau bodoh, jika aku ikut bersamamu
sekarang, mungkin aku akan langsung mengakhirinya.”
“Kau tidak tahu betapa aku
mengkhawatirkanmu ?, kau tahu, aku akan selalu menunggumu disini, jadi
kembalilah dengan selamat.” Kata Alivia sambil mengusap air matanya.
Berbulan-bulan telah berlalu. Namun,
istana belum juga mendapat kabar dari pusat komando perang Divia. Hingga hal
itu berhasil membuat seisi istana menjadi cemas bukan main. Termasuk sang ratu
sendiri yang mencemaskan keadaan Raja Cloud. Hingga kemudian sebuah berita
buruk tersiar dari sang pembawa pesan. Lelaki itu membawa sebuah pesan hitam
yang berisi kematian salah satu anggota kerajaan. Deg. Mendengar hal itu
jantung Putri Alivia serasa berhenti berdetak, yang ada dipikirannya kala itu
adalah semoga pesan kematian yang dibawa lelaki itu bukan mengabarkan tentang
suaminya. Tetapi semua itu hanyalah mimpi belaka, ketika ia mendengar dengan
kedua telinganya sendiri bahwa anggota kerajaan yang meninggal adalah Pangeran
Cain.
Setelah mendengar hal itu seolah
pikiran Alivia langsung dipenuhi dengan nama Cain. Pangeran Cain, Pangeran Cain
dan hanya Pangeran Cain. Karena ia sudah tak kuasa membendung emosinya, gadis
itu pun menangis, air mata itu langsung mengucur dengan derasnya dari kedua
mata indah Alivia. Gadis itu pun jatuh dan bertumpu pada kedua lututnya dan
menangis sejadi-jadinya.
“Kau bohong ! ia berjanji
padaku…hiks…bahwa ia akan kembali…hiks…hiks.”
Tangis Alivia.
“Ibu, katakan jika itu tidak benar !
katakan ibu !” Seru Alivia sambil menarik-narik baju Sang Ratu.
“Mereka akan tiba di istana dengan
Pangeran Cain malam nanti.” Kata pembawa pesan itu dengan menundukkan
kepalanya.
Alivia terus saja mengulang-ulang kata “Tidak mungkin” di dalam benaknya.
Bahkan gadis itu tidak ada henti-hentinya menangis. Hatinya bagaikan teriris
pisau yang sangat tajam berkali-kali. Sakit, dan sangat sakit. Bahkan matanya
sudah terlihat membengkak karena terus-menerus mengeluarkan air mata. Sesaat
setelah itu terdengarlah pertanda dari lonceng kerajaan bahwa Pasukan Divia
telah kembali. Alivia pun langsung bangkit dari pangkuan Ratu Divia dan
langsung berlarian menuju gerbang istana. Kedua matanya langsung dapat
menangkap ada sebuah peti mati dengan lambang Kerajaan Divia terukir diatasnya.
Jantungnya semakin berdetak dengan kencang, dan air matanya semakin menganak
sungai di wajah cantiknya.
Ketika peti mati itu sudah berada
beberapa meter di hadapannya, beberapa dayang istana berusaha untuk menahan
langkahnya. Hal ini dimaksudkan agar sang putri tidak jatuh pingsan, atau
melakukan hal diluar nalar ketika kedua mata gadis itu melihat isi dari peti
mati itu adalah jasad suaminya, Pangeran Cain.
“JANGAN HALANGI AKU ! LEPASKAN !” Seru
Alivia. Dengan satu kali hentakan ia berhasil keluar dari kekangan para dayang
dan berjalan gontai menuju peti mati itu. Benar saja, dengan kedua matanya
sendiri ia melihat jasad Pangeran Cain ada di dalamnya sambil tersenyum manis
ke arahnya. Jasad itu seolah bukan seperti mayat seseorang yang baru meninggal.
Tetapi lebih mirip seperti seseorang yang tengah tertidur dengan kedamaian yang
abadi.
Tangisan Alivia semakin menjadi-jadi.
Ia pun terus meneriakkan nama Cain. Berharap pemuda itu akan bangun ketika
mendengar ada seseorang meneriakkan namanya. “CAIN !, CAIN !, BANGUNLAH INI AKU
! ALIVIA ! CAIN !” Teriak Alivia sambil mengguncangkan tubuh pemuda itu. Namun,
sosok tak bernyawa yang ada di dalamnya tetap diam tak bergeming. Ia tetap
dalam keadaanya yang semua, menutup matanya rapat-rapat sambil tersenyum manis.
Wajahnya seolah bersinar dan membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa
damai.
“Hiks…bagaimana…bagaimana
bisa…hiks…tolong jelaskan padaku.” Kata Alivia sambil menahan isak tangisnya.
Bahkan langit pun merasa kehilangan
sosok Cain hingga langit pun turut berduka dan meneteskan air matanya. Ketika
semua orang tengah pergi dan hanya tinggal ketiga sosok anggota kerajaan yakini
Putri Alivia, Ratu Aline, dan Raja Cloud. Mereka semua berdoa untuk Cain.
Setelah selesai keduanya pun mulai meninggalkan Alivia sendiri disana. Ia pun
menangis. Gadis itu meningat kenangan-kenangan indah bersama pemuda itu, dan
hal itu adalah sebuah memori masa lalu yang tak akan pernah ia lupakan.
“Cain, aku berjanji padamu. Sakarang,
sampai nanti aku akan selalu bersamamu, bersama-sama dalam keabadian dan
menembus ruang dan waktu dunia.”
“Ya,
aku tahu itu. Sampai kapan pun aku selalu disini bersamamu. Takdir selalu
mengikat kita.” Mendengar suara
Cain, gadis itu pun berbalik, namun ia tak menemukan siapa-siapa dan ia pun
tersenyum ke arah makam yang bertuliskan nama Cain Kraven Lucis.
Komentar